SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Kamis, 30 Juni 2011

Intelektual Mekanik

Radar Halmahera, Kamis 30 juni 2011
Oleh: Among Prakoso
Divisi Pendidikan WALHI MALUT



Pagi itu laju kendaraan di bundaran depan kampus gajah terlihat lebih lambat dari biasanya, di sebelah barat sebuah sepanduk terentang, di atas pemukaannya yang putih terlihat kalimat “Soegeng Rawuh Mr.Boed” ditulis dengan cat semprot merah. Budiono ke kampus gajah.
Beberapa belas pengawal berseragam coklat duduk-duduk di balik bayang-bayang papan iklan. Bergerombol dengan kawanannya mereka mengawasi aktifitas di tengah bundaran. Ada demo. Sebuah mobil meriam air melintas, bercat hitam.Tak lama berselang warna hitam kembali menyeruak kala satu unit SUV berpenggerak 4 roda melintas. Lebih ke dalam, di ujung boulevard, pengawal dan kendaraan tempur antidemonstran menumpuk, lebih banyak dari yang ada di bundaran.

Budiono datang ke kampus gajah. Di bundaran, di bawah pengawasan mata pengawal Budiono, dua kelompok mahasiswa berdemo, masing masing mengambil tempat di sisi utara dan selatan jalan. Dua kelompok kecil ini secara bergantian melakukan orasi, menyangsang bendera, membawa poster dan spanduk. Berseberangan tempat namun bulat dalam teriakan: KEGAGALAN PEMERINTAH.

Budaran kampus gajah macet, laju kendaraan terganggu lalu-lalang wartawan. Beberapa mahasiswa melintas keluar-masuk mulut boulevard, sekejap melirik dari atas kendaraan roda duanya, melambatkan laju namun tidak benar-benar berhenti. Mahasiswa yang di kejauhan, mereka berjas almamater, mengangkat lehernya dongak kepala: melongo.

Tulisan ini, yang berpanjang-panjang di pemulaan, tidak hendak ribut soal Budiono yang konon kata berita di internet, membawa 800 orang pengawal bersamanya ke kampus gajah. Saya juga tidak hendak mempersoalkan pengawal Mr.Boed yang berakting (sok) seram. Tidak.

Saya maklum dengan tingkah berlebihan tuan dan gerombol pengawalnya. Sang tuan ketakutan, takut diserang warga-negara yang marah, hingga merasa perlu bawa-bawa pengawal bersenjata, jangan lupa pentungan juga senjata, dan kendaraan tempur anti amukmassa. Para pengawal sendiri memang dibayar untuk melindungi tuannya, jadi wajar kan mereka dengan disiplin menjaga sang tuan? Kalau sampai para pengawal itu berakting gahar kita juga jangan buru-buru mengumpat, itu hanya bagian dari profesionalisme kerja mereka.

Di tulisan ini saya juga tidak bermaksud membicarakan demo yang semakin sepi peminat. Saya salut dengan mereka, jenis mahasiswa yang hampir punah, yang terus bertahan ditengah pesta perayaan kebebasan hasrat. Saya sendiri belum pernah berdemo, dan saya tidak cukup berani untuk muncul di ruang publik dengan tuntutan lugas seperti mereka. Meminjam istilah seorang kawan, saya ini ibarat intelektual kafe –tentunya cap intelektual terlalu jauh dari realitas saya yang bukan sarjana. “Intelektual Kafe adalah” kata kawan saya itu “kaum cerdik-cendikia yang melakukan protes, fasih mengucap teori-teori sosial, mengkritik kesalahan sistem, menulis tentang ketidakadilan sosial tapi tidak melakukan kerja nyata di masyarakat. Mereka ribut bersuara dari dalam kafe namun tidak pernah turun ke jalan”

Hmm.. oke, saya tidak intelektual tapi saya mirip dengan mereka, sering mengkonsumsi leisure time di kafe daripada menyapa ibu/bapak pedagang kakilima atau kuli keceng penggarap tanah priyayi. Karena itu, setelah bertukar wicara dengan kawan soal intelektual kafe, saya jadi sedikit bisa memahami bentuk perlawanan dengan demonstrasi. Seperti kata Nabi saya “Orang yang diam ketika menyaksikan keburukan adalah setan bisu”, demonstrasi mahasiswa yang saya saksikan di bunderan kampus gajah dalam dimensi religious bisa dikatakan sebagai upaya mereka untuk menjadi manusia.

Tulisan ini, dengan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya, ingin memantulkan kembali suara-suara kritis dari mereka yang lama mengamati dunia penddidikan. Tulisan ini mencoba memantulkan gaung wacana privatisasi pendidikan dengan menempatkan para peserta didik sebagai gema utama.

Privatisasi (maha)Siswa
Dalam tayangan sentilan-sentilun di MetroTV si tamu, entah siapa namanya, berkata pada mahasiswa yang hadir di studio “Sekarang ini tidak ada sekolah negeri. Jangan kalian kira negara membiayai pendidikan, yang membiayai pendidikan itu orang tua kalian”. Satu konklusi yang menjelaskan dengan sederhana makna sebenarnya dari lembaga negeri atau lembaga negara, yaitu (kira-kira) lembaga yang dalam pengelolaan dan pembiayaannya dibawah aturan dan tanggung jawab negara.

Apa yang ada sekarang ini adalah pendidikan swasta (privat), sebuah sistem pendidikan yang diserahkan kepada kelompok pengelola –saya lebih suka menyebut mereka pebisnis-ilmu-pengetahuan– yang menjalankan institusi pendidikan dengan logika pasar-profit. Masyarakat adalah pasar potensial yang jika mau, dengan rayuan ataupun paksaan, dibuat membeli barang dagangan (ilmu-pengetahuan) maka institusi pendidikan itu bisa memperoleh profit (keuntungan). Praktek bisnis seperti ini dalam term canggihnya jamak disebut “privatisasi pendidikan”.
Ah itu lagu lama, ribut-ribut soal privatisasi pendidikan sudah berlangsung lama.

Yang mengkhawatirkan adalah privatisasi pendidikan tidak hanya membuat mahal biaya sekolah tapi juga mempengaruhi motivasi belajar siswanya. Ingin lulus cepat dengan nilai tinggi. Dulu, kakak-kakak saya rata-rata menempuh masa studi paling sedikit delapan tahun, bahkan ada yang sepuluh tahun. Mereka merasa tidak harus cepat-cepat lulus, dan orang tua tidak seberapa pusing jika anaknya betah menjalani kehidupan kampus sebab SPP yang harus dibayarkan di masa itu relatif masih terjangkau. Sekarang, untuk pendidikan tingkat sarjana misalnya,jika ada mahasiswa yang menempuh tahun kelima dalam masa studinya sudah bisa ditebak “keterlambatannya” memicu kekhawatiran orang tua. Khawatir sebab masih harus membiayai kuliah yang mahal.

Kriteria mahasiswa berprestasi juga menjadi sangat sempit. Mahasiswa berprestasi adalah mereka-mereka yang menempuh kuliah singkat, atau sesuai jadwalnya, dengan nilai yang bagus –untuk tingkat kampus misalnya IPK mencapai 4.00. Mahasiswa hanya diukur dari kecerdasan akademis, untuk aspek sosial maupun –satu status yang masih terus menjadi harapan– tugasnya sebagai penggerak perubahan sudah terlempar jauh dari parameter untuk menilai seorang mahasiwa berprestasi atau tidak.

Jika ditelisik, agenda privatisasi pendidikan yang kini berlangsung dengan sengaja, meski sembunyi-sembunyi, menghujam hingga ke pola pikir peserta didik. Sekarang ini pragmatism menjadi moral intelektual peserta didik (mahasiswa). Kuliah cepat, nilai bagus, lulus langsung dapat kerja menjadi kelaziman yang tidak dipertanyakan. Eko Prasetyo[1] menulis:
Pendidikan telah disulap perannya, dari upaya untuk mendorong tradisi intelektual menjadi mesin pencipta tenaga kerja. Itu sebabnya peserta didik kemudian dipandang sebagai objek yang bisa dikenai berbagai aturandan diarahkan menurut keinginan pasar kerja.

Dari sini terlihat dua wajah privatisasi pendidikan. Pertama membuat proses belajar-mengajar menjadi komoditas yang menguntungkan (komodifikasi ilmu-pengetahuan), yang kedua meluluskan kaum terdidik dan terampil sebagai komoditas di pasar tenaga kerja. Betapa canggih dan rapi sistem pendidikan (kapitalistik) sekarang. Melalui privatisasi pendidikan bisa membiayai dirinya sendiri (bahkan mendapatkan keuntungan), dan lulusan yang dihasilkan adalah komoditi tenaga kerja yang –seturut hukum permintaan-penawaran– pintar, melimpah dan murah.

Setelah lulus dari kampus problem para mantan-mahasiswa tidak serta-merta selesai. Idealism yang menggebu-gebu saat masih menyandang status sebagai MAHAsiswa perlahan redup atau mati sama-sekali. Lama hidup diatas teori-teori canggih yang tersandera dalam ruang kelas dan lembar buku membuat mahasiswa gagap merespon realitas, isi kepala sebagian besar dari mereka adalah mencari pekerjaan yang bergaji layak.

Untuk mantan mahasiswa yang cerdik, yang semasa berkuliah termasuk golongan aktivis, sindrom gagap-realitas yang mereka derita disamarkan dengan bekerja di LSM atau NGO, tidak sedikit juga yang bahkan mendirikan LSM/NGO. Contoh nyatanya ya saya ini.

Sepintas bekerja di NGO, LSM atau lembaga pendampingan masyarakat menjadi jalan pengabdian intelektual, namun ketika lembaga tempat bernaung tidak memberi gaji yang sesuai dengan keinginan maka timbul gerutu di antara para pekerja-sosial-intelek ini. Jenis lain, yaitu mahasiswa cerdik yang mendirikan LSM/NGO, kerja-kerja yang dilakukan lembaga mereka disesuaikan dengan proposal dana atau kepentingan donor. Persoalan apakah kerja yang dilakukan itu benar-benar merupakan kebutuhan utama komunitas dampingannya tidak lagi dirasa penting. Kerja yang dilakukan tereduksi menjadi kerja karitatif, belas kasih, amal, atau charity. Kaum terdidik-intelek ikut-ikutan menjadi juragan kaya; mengembangkan hasrat filantropis.

Watak lembaga pendidikan pasca privatisasi juga ikut diswastakan, menjadi penghamba pada penguasa. Di sini makna “penguasa” saya lekatkan pada penguasa kekerasan legal (negara beserta aparatusnya) dan penguasa modal. Pada bisnis ekstraksi perut bumi misalnya, banyak universitas yang terang-terangan mendukung usaha pertambangan dengan kapasitas mereka sebagai lembaga ilmiah, mulai dari kebohongan hasis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sampai praktek tipu-daya-persuatif kepada kelompok komunitas di wilayah pertambangan agar mau menerima masuknya perusahaan tambang.

Kedatangan Mr.Boed ke kampus gajah secara simbolik juga menunjukkan betapa lembaga pendidikan, kampus gajah dalam hal ini, sudah diswastanisasi penuh. Agenda Mr.Boed hari itu adalah untuk melepas mahasiswa yang akan menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pertanyaan saya, apa kapasitas Mr.Boed sampai-sampai kampus gajah yang tua merasa perlu meminta si mister untuk melepas mahasiswanya? Apakah karena Mr.Boed pernah menjadi dosen di salahsatu fakultas om gajah, atau karena Mr.Boed adalah bagaian dari penguasa? Saya pribadi cenderung memilih jawaban kedua, menurut saya alasan “pernah menjadi dosen” terlalu mengada-ada sebab untuk kampus setua om gajah ada banyak guru besar, professor, doktor, atau apapun gelarnya yang jauh lebih pantas melepaskan bibit-bibit masa depan bangsa, ini malah seorang penguasa yang melakukannya. Di mana kemerdekaan pendidikan?

Semasa masih sekolah dulu guru Bahasa Indonesia saya pernah berkata “Ilmu jangan sampai duduk di menara gading”. Kenyataan hari ini lebih menyedihkan; ilmu, kampus, sekolah, siswa, mahasiswa, guru, dosen, gedung, kursi, semua instrumen fisik dan non-fisik dari pendidikan, dibungkus menjadi satu lalu dilacurkan ke masyarakat lewat baliho-baliho, spanduk, iklan tv, iklan cetak dll; Besaran “uang sumbangan” menjadi faktor penentu seorang anak bisa masuk sekolah atau tidak; Mahasiswa berdemo ditekan melalui instrument akademis; Kegiatan kemahasiswaan, diskusi, teater dan penerbitan menjadi objek intai satuan telik sandi yang berkomplot dengan pihak rektorat.

Pembantaian Mahasiswa
Pada masa kekuasaan penguasa dahulu kerap terdengan berita tentang hilangnya mahasiswa. Hilang, tak ada berita atau kabar pamit. Tak ada yang menyatakan diri bertanggung jawab. Tingal keluarga yang bingung mencari keterangan sanak yang hilang. Hari ini penguasa tidak perlu berlumur darah untuk menjaga kepentingannya, penguasa sekarang lebih cerdas. Represi yang dilakukan bukan lagi represi fisik melainkan represi mental dan pengetahuan.

Sekolah dibuat mahal, maka masa belajar menjadi singkat. Sistem semester, SKS, raport, UAN dan UAS diterapkan, maka masa studi bisa ditentukan. Kegiatan mahasiswa lebih rekreatif, maka kelahiran mahasiswa kritis bisa diaborsi. Mahasiswa demo tidak lagi ditembaki, tapi di acuhkan, ketika ditanya wartawan cukup berkata “Ini kan negara domokrasi, setiap orang berhak menyampaikan pendapat.” Perkara pendapat mereka didengan atau tidak itu lain soal.

Mahasiswa, generasi muda, penggerak perubahan, dibantai. Tidak dengan peluru tajam namun
dengan ekspansi budaya-suka-ria. Benda-benda berteknologi tinggi masuk, produk fashion, gaya hidup riang-gembira, produk otomotif hingga permainan ketangkasan di dunia maya. Generasi pengerak yang semestinya radikal dibius dengan kesenangan, menjadi konsumen abadi dari produk seni hingga sex, hidup mapan, sesekali berpesiar ke tempat-tempat eksotis dalam dan luar negeri. Kelompok intelektual kini lebih suka menulis tentang film, tempat wisata dan perjalanan keliling negeri, sementara mereka yang miskin, tidak mampu bersekolah, tidak memiliki tanah, mereka yang tenggelamkan ke dalam angka-angka statistika, tersingkir dari perhatian. Atau, meski dimunculkan, hanya sebagai kisah duka manusia, tidak ada analisis yang menyentuh relasi struktur kekuasaan dan keadilan akses sumberdaya penyebab dari kemiskinan.

Semakin sedikit intelektual-organik yang belajar dan berjuang bersama-sama masyarakat, berganti intelektual-mekanik yang digerakkan pasar: pasar pengetahuan dan pasar tenagakerja. Kaum terdidik yang menjadi konsumen budaya pop, hidup suka-ria. Menjalani hidup yang itu-itu saja: Sekolah – lulus – lalu bekerja. Berkarir sebagai pekerja NGO, menjual kemiskinan saudaranya untuk kucuran dana negara-negara utara. Semakin banyak intelektual kafe, golongan cerdik-cendikia yang merasa sudah melakukan perlawanan hanya dengan mengadakan diskusi atau melontar kritik dari kafe-kafe mahal terwaralaba dan menulis di media-massa borjuis. Dan yang paling menyedihkan, kehadiran kelompok intelektual parasit, kelompok berilmu yang ikut ke dalam komplotan penguasa, memberikan pembenaran intelektual untuk pemiskinan sistematis.

Teringat lagi buku “Sekolah Itu Candu” tulisan Roem Topatimasang. Sekarang ini sekolah tidak saja mendidik untuk tahu dan terampil tapi juga mendidik untuk bebal dan masa bodoh. Hebatnya, makin mahal biaya pendidikan ternyata tidak mengurangi pemadat candu merek “sekolah”. Orang tua masih memasrahkan masa depan anaknya pada lembaga bisnis pengetahuan, dan si anak terus di jerat pada hukum balas-budi pada orang tuanya yang berusaha dibayar dengan nilai bagus dan pekerjaan “keren”.

Kawan, kapan terakhir kali kau melihat ijasahmu, tadi pagi, minggu kemarin, atau tahun lalu? Apakah ijasahmu kau pigura dengan cantik atau terlindungi oleh lapisan plastik kaku? Atau jangan-jangan kamu sendiri lupa dimana ijasahmu tersimpan, “lupa” yang lahir karena muak pada wajah pendidikan di negeri ini.


*Untuk teman-teman Kebonan, kakak-kakak di Banjarparakan, kawan-kawan Marto Golek, bocah TerangSore dan tiga Ilalang di padang Notog, dan kesan perjumpaan yang dalam dengan eksponen Walhi Malut.

[1] Eko Prasetyo, Assalamu’alaikum: Islam Itu Agama Perlawanan, Resist Book. 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar