SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Sabtu, 04 Januari 2014

Warga Mado Belajar Jurnalisme Komunitas





TERNATE - WALHI Maluku Utara mengadakan FGD bertema Jurnalisme komunitas dan metadata dalam perspektif pemanasan global, Sabtu (14/12) di Kelurahan Mado, kecamatan Pulau Hiri. Diskusi yang dilaksanakan di rumah sekretaris Kelurahan Mado ini diikuti oleh 42 peserta yang dihadiri oleh siswa SMP dan SMA, Mahasiswa, Pemuda, orangtua, serta Staf Kelurahan Mado.

Menurut pendamping lapangan WALHI Malut, Fahrudin A. Buamona, bahwa diskusi ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat bisa memahami proses membuat berita, sekaligus bagaimana menciptakan media alternatif.

Selain memberikan pemahaman terkait bagaimana proses membuat berita, dalam diskusi tersebut peserta juga diberikan pemahaman tentang pemanasan global dan dampaknya terhadap masyarakat, khususnya di pulau-pulau kecil.

Diskusi ini mendapat apresiasi penuh dari seluruh peserta, terlihat dari antusias mereka mengikuti setiap proses diskusi sampai selesai. Bahkan mereka meminta agar kegiatan seperti ini sesering mungkin diadakan di kampung, agar masyarakat pun tidak ketinggalan informasi.

“kami akhirnya paham kenapa air laut menjadi lebih tinggi sekarang. Juga musim yang tidak menentu, yang berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan.” Ungkap Amran Ali, ketua LPM Kelurahan Mado.

Abrasi Tingkat Kritis di Galo – Galo





DARUBA - Tanggul pemecah ombak di Desa Galo – Galo, Morotai Selatan yang berada di areal pekuburan sebagiannya runtuh. Imbasnya, dinding tanah kuburan setinggi dua meter di tepi daratan ikut amblas.

Jamal Pesa, salah seorang pemuda kampung mengatakan, bahwa peristiwa ini sudah terjadi sekitar dua bulan yang lalu. “Sudah hampir dua bulan kejadiannya,” ujar Jamal.

Saat di lokasi (30/11), lobang menganga mengakibatkan sebagian jasad yang telah menjadi rangka, mulai dari kepala hingga tulang iga tampak berada di luar.

“Peristiwa ini bukan kali pertama terjadi. Mulanya tepi daratan pada areal kuburan tersebut masih memanjang lima meter kedepan. Namun karena sering terkikis oleh ombak air laut akhirnya jadi seperti ini,” ungkap Jais, Ketua Komunitas Pencinta Pulau.

“Pernah lebih ekstrim dari yang ini. Ombak naik sampai permukaan kuburan, hingga beberapa jasad terangkat ke permukaan. Pagi harinya, masyarakat menemukan banyak tulang manusia berserakan.” Ungkapnya lagi.

Kepala Desa Galo Galo, Fuad Gafur saat dikonfirmasi mengatakan belum bisa melakukan perbaikan tanggul karena keterbatasan anggaran desa.

“Ya, kami akan upayakan bersama warga untuk memperbaiki kuburan yang rusak,” ucapnya. “Untuk tanggul, kami baru ajukan proposal untuk perbaikannya ke dinas PU. Ini masih menanti jawaban mereka,” ujarnya lagi.

Jika hal ini tidak segera ditangani oleh Pemerintah Morotai, maka bisa jadi areal pekuburan tua di Desa Galo-Galo akan lenyap di kikis abrasi. Butuh kebijakan dan tindakan segera oleh seluruh pihak yang berkompeten untuk mengatasi hal tersebut.

Jumat, 03 Januari 2014

Teluk Gane




TERNATE - Senja merapat membiaskan cakrawala merah dari ujung horizon. Perahu-perahu nelayan mulai mendendangkan irama di sepenggal teluk. Ada yang dari melaut, ada pula dari kebun. Mereka kembali ke perkampungan, dari ruang produktifitas harian.

Teluk Gane, atau lebih sering warga tempatan menyebutnya hol, masih padat ditumbuhi vegetasi mangrove. Tak hanya perahu bermesin yang melintas, beberapa perahu penuh muatan hasil kebun, tampak perlahan menyusuri tepian hol. Dendang dan canda tawa, merupakan kebiasan warga Gane Dalam saat pulang dari laut maupun kebun.

Tahun 1962, daerah Hol Gane Dalam pernah menjadi pangkalan angkatan laut Indonesia dalam ekspansi ke Irian Barat. Beberapa orang saksi hidup zaman itu, seperti Pak Salmin Sahiba dan Pak Wahab, masih bisa bertutur dengan runtut kisahnya.

“Saat itu daerah hol dipenuhi dengan 58 buah kapal pemburu, serta kapal logistik dan kapal minyak berjumlah 64 armada. Soeharto pun ada, Ia masih berpangkat letkol. Kalau tak salah, Ia di Kapal Perang Multatuli,” tutur Pak Salmin.

“Mungkin lokasi hol strategis untuk pasukan Indonesia saat itu, karena sangat rimbun, dan teduh dari gelombang laut. Juga dekat dengan Papua Barat. Warga Gane juga bersumpah menjaga kerahasiaan armada laut republik,” sambung Pak Wahab.

“Kami cukup dekat dengan para tentara. Kalau mau ke kebun, kami sering dipanggil mampir untuk makan. Hingga pernah, suatu waktu saat berada di kapal, sirine perang berbunyi, kami kalut, seorang Perwira memerintahkan untuk turun ke Palka. Ternyata ada info, sebuah pesawat sementara terbang mendekati lokasi hol,” tutur Pak Salim.

“Di kampung, warga juga menjadi panik mendengar suara sirine. Ternyata, pesawat yang mendekat adalah milik Indonesia. Semua orang lega,” ungkap Pak Wahab. Kepingan sejarah masa silam itu, senantiasa membekas dalam ingatan mereka berdua.

Kini, warga Gane tak lagi berjuang membantu tentara, tapi mereka berjuang mempertahankan Hol Gane dan wilayah perkebunan mereka dari ekspansi perkebunan sawit milik PT. Gane Mandiri Membangun. Pada tanggal 2 juni 2013, sebanyak 17 orang warga Gane disergap, ditangkap layaknya penjahat oleh aparat kepolisian Halmahera Selatan.

Dari Hol Gane, mereka diangkut ke Pulau Bacan, dengan tuduhan menghalangi investasi dan mencuri kayu milik perusahaan. Dalam persidangan kemudian, ternyata tuduhan tersebut tidak terbukti. Warga Gane dinyatakan bebas murni. Kini kasusnya masih di Mahkamah Agung, karena Jaksa mengajukan kasasi.

Teluk Gane yang biasa disebut hol oleh warga tempatan, sepasang kakek dan nenek terlihat santai mendayung perahunya mengarah pulang. Dan, senjapun masih merapat membiaskan cakrawala merah di ujung horizon.

Puing Reruntuhan Benteng Nassau di Pulau Moti




TERNATE - Kaki-kaki yang sibuk berlalu lalang, dan teriakan jajanan kaum Ibu, ramai berlangsung di atas jembatan kayu Pelabuhan Moti Kota. Hampir tiap pagi, suasana ini kan didapati, kala transportasi laut berupa speed boat, atau motor kayu merapat.

Di sisi utara, tak jauh dari keramaian itu, puing-puing beton terserak di tepian pantai, bahkan sebagiannya sudah terendam laut. Bisu dalam hempasan ombak, namun menyimpan sejarah masa silam negeri ini, yang penuh penindasan.

“Dulunya, puing – puing ini merupakan tembok kokoh, benteng yang berdiri tegar di kaki Gunung Tuanane. Kami sering menyebutnya SEPERA, singkatan dari semangat perjuangan rakyat. Inilah banteng Nassau kedua, setelah yang ada di Pulau Banda – Maluku,” tutur Nahrawi Jalal, seorang pemuda Pulau Moti sembari duduk di atas puing yang tersisa.

Menurut catatan sejarah, pertengahan abad ke-17, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mengalami kegalauan akibat terjadi kelebihan produksi cengkeh, yang menyebabkan harganya menjadi turun di pasar Eropa. VOC kemudian menerapkan kebijakan extirpatie, yakni pemusnahan pohon pala dan cengkeh milik rakyat Maluku Utara. Untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut, maka dilakukanlah pelayaran bersama antara VOC dan Kesultanan Ternate, yang kemudian dikenal dengan nama hongitotchen.

Kebijakan extirpatie yang ditandatangani oleh Sultan Mandar Syah di dalam Benteng Orange pada 31 januari 1652, menyebabkan dua pulau penghasil cengkeh terbesar di Maluku Utara zaman itu, yakni Pulau Makian dan Pulau Moti terkena imbasnya. Cengkeh dan pala, yang menjadi tanaman utama warga, dibabat habis hingga ke akar-akarnya.

Kini, artefak sejarah yang menjadi saksi bisu penggalan kisah penindasan kolonial masa silam itu, tak lagi kokoh berdiri. Terbiar hancur, dikikis abrasi dan usang dimakan waktu. Puing-puing itu hanya disapa ombak, dan riuh rendah suasana pagi di atas jembatan kayu, dermaga Pulau Moti.

Di Pulau Hiri, Pak Lurah Mado Bercita-cita Membangun Perpustakaan




TERNATE - Pulau Hiri terletak di arah utara Pulau Ternate, tak terlampau jauh jaraknya. Waktu tempuh kurang lebih 20 menit, jika menggunakan motor kayu – sebutan untuk alat transportasi yang biasa digunakan masyarakat setempat.

Meski jaraknya cukup dekat dengan Pulau Ternate yang menjadi sentra aktivitas ekonomi di Maluku Utara, kehidupannya masih alami, belum terlalu banyak pengaruh dinamika kota di pulau ini. Warganya ramah, layaknya kehidupan masyarakat pesisir kebanyakan yang penuh persahabatan.

Terdapat enam kelurahan di Pulau Hiri, yang masuk Kecamatan Pulau Hiri, wilayah administrasi Kota Ternate. Salah satunya adalah Kelurahan Mado, yang menjadi lokasi aktivitas WALHI Maluku Utara menjalankan program belajar bersama komunitas.

Lurahnya bernama Abdul Kadir Rakib, biasa disapa Pak Lurah. Lelaki 40-an ini, sebelum menjadi pegawai negeri, sempat melakoni juragan kapal laut di Pulau Sanana, juga pernah menjadi pedagang pakaian di Papua.

“Tahun 1986, saya tamat SMA langsung ke Papua berdagang pakaian di Fak-Fak. Setelah itu lanjut merantau ke Ambon, dan akhirnya menjadi juragan kapal di Pulau Sanana. Nanti pertengahan tahun 1990 baru masuk PNS, dan tahun 2010 dipercayakan menjadi Lurah di Mado ini,” kisahnya.

Selain menjadi lurah, Ia juga membuka warung makan, yang letaknya berhadapan dengan terminal dermaga Pulau Hiri. Selain makanan, terdapat juga barang dagangan lain di warung tersebut yang dijualnya. Warung tersebut dipercayakan kepada sepupunya untuk mengelola.

“Yah, minimal warga tidak lagi mesti ke Pulau Ternate untuk membeli kebutuhan rumah tangga,” ujarnya.

Suatu sore, di awal oktober 2013, Pak Lurah menyampaikan cita-citanya terkait pembangunan sumberdaya manusia di Pulau Hiri. Ia ingin membangun perpustakaan, agar warga di Pulau Hiri bisa bertambah wawasan dan pengetahuannya.

“Saya akan bangun dua bangunan di samping kantor lurah. Satu bangunan akan saya sekat dan bikin ruang perpustakaan. Kalau sudah jadi, akan saya buat program wajib baca. Setiap minggu, masyarakat wajib membaca buku satu kali. Saat ini kami sudah punya 500 judul buku, masing-masing dua eksemplar, bantuan dari pemerintah,” ungkapnya.

Di tengah krisis air bersih di Pulau Hiri yang tak pernah tuntas penyelesaiannya, ada spirit membangun kecerdasan dari seorang lurah di pulau kecil.*

Petani dan Nelayan Gane Belajar Bersama Jurnalisme Komunitas




TERNATE - Disela-sela kesibukan Warga Gane Dalam dan Sekely melaut juga berkebun, mereka masih menyempatkan diri mengikuti proses belajar bersama tentang Jurnalisme Komunitas dan Metadata (JKM), yang diselenggarakan oleh WALHI Maluku Utara. Kegiatan yang dikemas dalam bentuk diskusi terfokus ini, dihadiri oleh 20 orang perwakilan dari tiap desa yang ada.

Desa Gane terletak di Kaki Pulau Halmahera bagian selatan, merupakan wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Selatan. Untuk sampai ke perkampungan ini, mesti menumpang kapal laut dari Ternate menuju Pulau Bacan, kemudian bermalam, dan esoknya baru dilanjutkan ke Gane. Waktu tempuhnya lebih kurang 20 jam. Ada juga alternative lain, yakni setelah tiba di Bacan bisa melanjutkan perjalan dengan menggunakan speed boat, waktu tempuhnya sekitar 12 jam.

Sore itu (28/11), warga terlihat serius menyimak paparan materi dari Faisal Ratuella yang mewakili WALHI Maluku Utara, tentang dasar-dasar penulisan berita dengan konsep 5W + 1H. Selain itu, Faisal juga, menjabarkan tentang penyusunan metadata kampung, serta pemanasan global dan perubahan iklim.

Oto Hi. Gani, salah seorang warga yang menyediakan rumahnya sebagai tempat kegiatan, mengatakan bahwa proses belajar bersama seperti ini sangat mereka butuhkan. Karena sejak tahun 2010, lahan perkebunan mereka dirampas oleh perusahaan sawit PT. Gane Mandiri Membangun, tapi tak ada respon dari pemerintah. Hal ini terjadi karena, mereka sangat jauh dari akses informasi dan transportasi, sehingga kejadian di kampung sulit diketahui oleh orang luar.

“Syukurlah ada kegiatan ini, kami jadi mengerti bagaimana menulis informasi kampung untuk dikabarkan ke luar, terutama tentang perampasan lahan-lahan perkebunana masyarakat oleh perusahaan sawit. Lebih untungnya juga, kami jadi paham kenapa waktu tanam dan waktu melaut jadi berubah, ternyata itu dampak dari pemanasan global,” ujar Bapak Oto Hi. Gani.

Kegiatan ini menurut Faisal Ratuella, merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan pendampingan lapangan yang dilakukan oleh WALHI Maluku Utara.

“Daerah Gane, atau kami lebih sering menyebutnya lima negeri, merupakan wilayah dampingan WALHI Maluku Utara sejak tahun 2012. Agenda Jurnalisme Komunitas dan Metadata ini, terselenggara atas dukungan kerjasama dengan The Samdhana Institute, yang berlangsung selama tiga bulan, sejak bulan Oktober kemarin. Targetnya, warga bisa mengabarkan suara kampung pulau, dari wilayah yang letaknya susah dijangkau dan jauh dari akses informasi di Maluku Utara,” jelas Ical, sapaan akrab Faisal Ratuella.

Proses belajar bersama sore itu berlangsung santai namun serius. Diakhir diskusi, warga menyepakati, membangun pusat informasi dan belajar bersama untuk penulisan kabar kampung pulau. Di luar, senja telah usai, seiring nelayan membawa pulang hasil tangkapannya.

Kaum Muda Pulau Moti Tertarik Belajar Jurnalisme Komunitas




TERNATE - Jurnalisme Komunitas dan Metadata (JKM), ternyata sangat direspon oleh kaum muda di Pulau Moti, salah satu wilayah kepulauan yang masuk dalam administrasi Kota Ternate. Pulau ini dapat dijangkau menggunakan speed boat, dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam tiga puluh menit dari Ternate.

Saat itu sore menjelang magrib, jumat (28/11), ketika keramaian di lapangan bola kaki telah usai, beberapa kaum muda terlihat bergegas menuju rumah mereka. Menurut Ramli yang adalah Ketua Pemuda di Kelurahan Moti Kota, para pemuda itu bergegas, karena mereka telah menyepakati, malam nanti akan mengikuti diskusi focus tentang JKM, yang akan difasilitasi oleh perwakilan dari WALHI Maluku Utara.

“Pemuda di Kelurahan ini telah bersepakat untuk lebih focus belajar menulis berita kampung. Selain itu, teman dari WALHI Maluku Utara juga akan menyampaikan tentang pemanasan global dan perubahan iklim. Bagi kami yang hidup di wilayah pulau, pengetahuan itu sangat penting diketahui,” tutur Ramli.

Proses belajar bersama dimulai pukul 20.00 WIT, di kediaman Ramli. Ada 22 orang pemuda yang terlibat. Rasman yang mewakili Walhi Maluku Utara, terlihat antusias memaparkan dasar-dasar penulisan berita, yang diselingi dengan paparan contoh dampak pemanasan global.

Di akhir sesi diskusi, beberapa peserta meminta Walhi Maluku Utara untuk tetap bisa memfasilitasi forum belajar bersama tentang JKM dan Pemanasan Global. Mereka juga menyepakati, tiap hari sabtu minggu, akan meluangkan waktu untuk terlibat dalam proses diskusi bersama.

Rasman dari Walhi Maluku Utara menyanggupi akan terus mengawal proses belajar bersama kaum muda di Pulau Moti.

“Iya, selain FGD seperti malam ini, sebelumnya juga kami telah melakukan pemutaran film tentang pemanasan global dan perubahan iklim. Menurut kami, sudah menjadi tugas bersama untuk terus menyampaikan dampak perubahan iklim ke seluruh masyarakat Maluku Utara, karena wilayah kita ini adalah kepulauan. Dibarengi dengan pelatihan menulis dan metadata, tentunya agar warga di Pulau Moti, bisa mengabarkan berita kampungnya sendiri,” terang Rasman.*

JURNALISME KOMUNITAS DAN PEMANASAN GLOBAL MENGGEMA DI RUMAH KEPALA DESA KOLORAI




DARUBA - Ditengah kesibukan berinteraksi dengan laut, warga Desa Kolorai, Kecamatan Morotai Selatan, turut pula menyempatkan waktu untuk tukar gagasan dalam Diskusi Kelompok Fokus yang digelar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Maluku Utara pada Selasa (26/11) kemarin.

Kegiatan dengan tema “Jurnalisme Komunitas dan Metadata Dalam Perspektif Pemanasan Global di Maluku Utara” itu dilangsungkan di kediaman kepala desa dengan dihadiri oleh sepuluh peserta.

Di dalam forum terbangun dialog cukup alot terkait dengan wacana perubahan iklim. Selain itu penjelasan kasuistik tentang gejala alam yang dijadikan sebagai indikator proses pemanasan global tengah mengada pun turut disentil.

Satu peserta kemudian meresahkan nasib kampung Kolorai kedepan yang menurutnya tengah terancam oleh intensitas ombak air laut yang senantiasa mengikis tepi daratan bagian barat pulau. Dari situ, tujuan jurnalisme komunitas terjelaskan kemudian sebagai wadah publikasi kampung yang berangkat dari inisiatif lokal.

Kepala Desa Kolorai, Sardjan Ismail, yang sedari awal memberikan dukungan terhadap kegiatan ini berharap beberapa peserta dapat dilatih khusus untuk menulis.

“Membuat berita tentang desa termasuk mengabarkan spot-spot wisata alam di sini. Mempromosikan Kolorai sebagai desa wisata.” Canda pak Kades periode 2008-2014 ini.

Ibu Rosita di Tepi Jalan




Terik panas matahari membuat perih kulit hari itu, diseberang jalan ada tebing, mobil truk dan excavator terdiam di atas tebing. Di bagian lain jalan ada hutan-hutan bakau yang luas, namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Seorang perempuan tua terlihat di tepi jalan, duduk ber-alaskan tumitnya sendiri sedang memecahkan batu, Perempuan tua itu serius sekali menekuni pekerjaanya. Ada tenda kecil “dadakan” milik perempuan tua itu, tempat dia berteduh dari sengatan matahari di siang panas dan berdebu.

Di dalam tenda ada rantang makanan yang sudah kosong, ada sedikit sisa makanan terlihat. Di sebelah rantang, ada botol plastik yang sudah kusam, berisi air minum.

“Ibu, sudah banyak batu terkumpul ya,?”. Tanya saya kepada perempuan tua itu. “Ohh, sudah bayak”. Balas perempuan tua itu, pendek dan tegas, tangannya terus mengengam pemukul naik turun menempa batu di hadapannya.

Perempuan itu adalah Ibu Rosita salah satu dari puluhan perempuan desa Wailukum yang bekerja sebagai pemecah batu. Perempuan dan Ibu-ibu pemecah batu ini, bisa kita lihat di tepi jalan desa Wailukum, saat perjalanan ke Maba, sentral aktifitas Pemerintahan Kabupetan Halmahera Timur, Maluku Utara.

Kabupaten Halmahera Timur merupakan Kabupaten yang memiliki kandungan sumber daya alam yang melimpah, berupa kandungan mineral logam nikel. hingga kini dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam tahun 2010. Jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berjumlah 15 IUP, dengan total luasan 54.328, Hektar. Sementara luasan kawasan daratan Kabupaten Halmahera Timur hanya 605.619 Hekrtar.

Ibu Rosita tidak sendiri bekerja memecahkan batu, namun dibantu oleh salah satu anak perempuannya. Umur ibu Rosita kira-kira 50-an tahun, kulit tangganya terlihat sudah kendur, namun masih kuat mengengam palu menempah batu selama 9-10 jam sahari. Pekerjaan memcahkan batu oleh ibu-ibu dan perempuan di desa Wailukum dilakoni sejak tahun 2002 hingga hari ini. Keuntungan yang diperoleh dari jajakan batu ini tergantung dari para pembeli, rata-rata batu yang dibeli untuk kebutuhan bahan konstruksi bangunan.

“batu-batu ini jual ret, satu ret itu Rp. 450.000. batu-batu ini torang toki kacil-kacil sampai dapa 260 karung. Itu kerja selama 5-6 hari”. Jawab Ibu Rosita saat saya menanyakan keuntungan dan cara kerja yang dilakoni hampir sebagian perempuan dan ibu-ibu di desa Wailukum.

Kebun yang sudah digusur dan laut yang tidak lagi ada ikan adalah alasan kenapa sampai Ibu Rosita dan beberapa Perempuan dan Ibu-Ibu di desa Wailukum bekerja sebagai pemecah batu. Sebelumnya Ibu Rosita punya perkebunan kelapa yang berada di belakang desa, namun karena kebutuhan jalan untuk perusahaan tambang dan infrastruktur pendukung aktifitas pemerintahan di Maba, ibu Rosita melepaskannya. Asumsi Ibu Rosita melepaskan tanahnya, hanya semata-semata untuk mendukung jalannya “otonomisasi”.

“bakabong pemalas abis dorang gusur samua torang punya kelapa, kelapa babua dorang gusur. Gusur itu untuk jalan tambang dan jalan kabupaten”. Ungkap Ibu Rosita dengan nada menekan dan sedikit marah.

Tanah untuk berkebun dikawasan padat investasi pertambangan, sudah barang tentu secara berlahan-lahan mulai hilang dikuasai oleh perusahaan tambang. Di desa Buli sentral aktifitas Pemerintahan Kecamatan Maba, saya menemui seorang tua yang cukup dikenal di desa Buli, bahkan desa tetangga lainnya, (Geltoli, Sailal, Buli Asal, hingga Pekaulang). Tubuhnya pendek, kulitnya hitam, menggunakan kacamata, malam itu cukup dingin di Buli, orang tua itu mengunakan jaket putih dan topi merah yang melekat dikepalanya. Banyak yang kami diskusikan malam itu.

“Tanah di Buli ini sudah habis, banyak orang jual ke Antam untuk tambang, uang yang didapat dari jual tanah itu adalah saat-saat hari bintang bagi orang Buli”. Kisah orang tua itu kepada saya, ceritanya begitu bersemangat, dengan nada bicara agak tinggi.

Hilangnya tanah dan uang pembebasan lahan merupakan cerita yang mudah diperoleh di desa-desa Halmahera Timur, di Buli Asal perkebunan kelapa milik warga sudah tidak lagi diproduksi, bahkan tanah untuk mengarap sudah mulai hilang. Saat dibaginya uang pembebasan lahan banyak orang-orang di desa Buli Asal yang memiliki banyak uang, hingga bisa membeli mobil untuk digunakan sebagai mobil taksi perjalanan Buli-Soffi, ada juga uang yang diperoleh hingga ratusan bahkan milyaran rupiah, namun tidak mampu menyekolahkan anak mereka, uangnya habis dihamburkan hingga ke Ternate-Tobelo, bahkan Manado.

“Pembebasan lahan itu bisa sampai milyar, ada satu orang di desa ini dia peroleh hingga 1 milyar lebih. Pada tahun 2010, tahun 2008 itu rata-rata 500 juta hingga 400 juta. 2002, 2004, 2008, 2010, itu tahun-tahun pembebasan lahan di desa buli asal empat tahapan. Orang yang menerima biaya pembebasan ada yang buat beli mobil dan dijadikan mobil rental, namun ada juga yang uangnya habis dengan hura-hura hingga membiayayai anak sekolah pun tak bisa”. Cerita seorang tokoh pemuda kepada saya di teras rumahnya, desa Buli Asal.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sajogyo Institute tahun 2012, mudahnya keterlepasan penguasaan dan pengelolahan tanah oleh masyarakat di kawasan Halmahera Timur terhadap perusahaan tambang dikarenakan, massifnya mekanisme tuturan yang dimainkan ditingkat komunitas, tentang kemajuan dan pembangunan, atas adanya investasi tambang. Uang dari hasil penjualan tanah adalah jawaban dari kemajuan itu, kerena tambang orang Buli bawa uang dengan “Saloi-saloinya”, tangap seorang Buli yang saya temui, saat memintai padanganya atas tambang di Buli.

Mekanisme ekonomi uang begitu kuat bermain dikomunitas masyarakat yang berada di kawasan- pertambangan. Cerita ketersediaan layanan alam telah berganti gunung-gunung yang botak, padangan ini mudah anda peroleh saat anda berada dan duduk di pesisir teluk Buli, atau saat anda lending di Bandara Buli yang berada di Desa Pekaulang.

“Tahun 1993-1998, teluk buli diramaikan para nelayan bagan ikan “ngafi” atau ikan teri, malam hari di lautan teluk Buli seakan sebuah kota yang penuh dengan gemerlap-gemerlip lampu”. Tutur seorang Guru yang juga anak kampung di desa Wailukum, menceritakan kepada saya romantisme berlimpahnya sumber daya ikan teri yang menjadi mata pencaharian faforit orang-orang yang mendiami sejumlah desa di teluk Buli.

Raut wajahnya tiba-tiba berubah sinis, saat dia menceritakan kelanjutan tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2000 dimana ikan teri dikawasan teluk buli tidak lagi didapati para nelayan, dan tiba-tiba saja bagan ikan teri milik nelayan sudah tidak lagi terlihat. Di tahun yang sama pemerintah Indonesia lewat Direktur Jenderal Pertambanga Umum mengeluarkan sebuah surat ber-nomor, 490.K/24.01/DJP/2000 yang memberikan luasan lahan untuk eksploitasi tambang nikel seluas 39.040 Hektar kepada PT. Antam. Di kawasan Tanjung Buli, Bukit Maronopo, dan Pulau Gee.

Kini kondisi tanjung, bukit dan pulau tempat berjalannya eksploitasi tambang sangat memprihatinkan, kesan hijau pada suatu pulau, bukit atau tanjung di wilayah Halmahera yang bisanya terlihat, sekarang diketiga lokasi tersebut hanyalah balutan tanah berwarna coklat, ditambah tumpukan orel yang dibungkusi tarpal berwana orange, dan mondar-mandirnya Truck yang tinggin rodanya bisa mencapai 2 meter, plus dilengkapi aparat Brimob besenjata lengkap yang berja-jaga di post-post pintu masuk.

“Saya baru dari haltim, ada pulau Gee hancur memang”. Ungkap Saiful Ruray Anggota DPRD Propinsi Maluku Utara, yang baru saja pulang dari Buli Halmahera Timur, yang melihat dengan mata telanjang kehancuran pulau Gee akibat eksploitasi tambang di teluk Buli. Pada satu sesi diskusi bertempat di ruang tamu kantor Walhi Maluku Utara, Kalumata.

Bapak Rudi (nama samaran), umurnya mungkin sudah tiga puluhan tahun, saya menemuinya di desa Buli Asal saat itu sudah sore hari, para pemuda-pemudi asik bermain bola voli di lapangan yang sebelahnya ada sungai, banyak anak-anak yang mandi disungai itu.

“Laut di teluk buli so tarada ikan, pernah ada nelayan di desa ini buang jaring di pesisir tanjung Buli, dan anehnya tidak dapat ikan, yang dorang dapa lumpur merah tatempel di jaring ikan, bahkan “lot” (pemberat kail) yang kasi tengelam di laut ada lumpur merah yang tatempel”. Cerca Bapak Rudi, yang mencurigai kedatangan lumpur-lumpur merah itu dari aktifitas pemuatan orel di tanjung Buli oleh perusahaan tambang.

Apakah sektor ekonomi keruk pertambangan ini benar-benar memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, terutama orang-orang di pulau Halmahera ?. Selama ini sektor keruk ini begitu mengidola hampir semua daerah di Propinsi Maluku Utara, bahkan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, berlomba-lomba mendatangkan orang-orang “berduit” untuk menanamkan investasi tambang di daerahnya. Namun hingga kini kata kesejahteraan dan perbaikan ekonomi jarang sekali kita temui di lokasi pertambangan, yang ada hanyalah, hilangnya lahan perkebunan, alam yang tidak lagi menyediakan kebutuhan kominitas masyarakat tempatan, hingga Konflik.

“Saya karja kasi pica batu dan jual batu ini, untuk kebutuhan makan saja, kabong so trada jadi, mau makan apa.?, Cuma ini saja yang saya bisa”. Ungkap Ibu Rosita, Pasrah.

NELAYAN KOLORAI BELAJAR PEMANFAATAN RUMAH KACA





DARUBA - Pihak Universitas Padjadjaran yang bekerjasama dengan Kementerian Pembangunan Desa Tertinggal (KPDT) dan Universitas Pattimura (UNPATI), melakukan sosialisasi sekaligus Pelatihan Pemanfaatan Rumah Kaca di Desa Kolorai, Kecamatan Morotai Selatan, Maluku Utara.

Pelatihan yang digelar di Gedung Serba Guna Desa kolorai pada Sabtu (23/11) itu, dipandu langsung dua pelatih dari Universitas Padjadjaran dan satu pelatih dari UNPATI. Didampingi Kepala Desa Kolorai beserta Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Morotai, yang sekaligus mengawali penyampaian berupa harapan kepada 20 peserta dari warga setempat.

Dalam pelatihan ini, ketiga pelatih menjelaskan tata cara pengelolaan ikan garam yang diorientasikan sebagai komoditas. Dimana peserta digembleng untuk melahirkan produk melalui proses pembuatan yang higienis. Dimulai dari tahap penjemuran dan pengeringan menggunakan rumah kaca hingga teknik membuat kemasan.

“Program pelatihan dan penerapan teknologi tepat guna ini, bertujuan untuk memperkenalkan rumah kaca sebagai alat pengering ikan garam yang efisien. Agar ikan garam yang dihasilkan lebih berkualitas serta laku di pasaran, maka disini kita akan mulai dari pengelolaan dan pengemasan,” Jelas salah satu pelatih.

Menurut ketiga pelatih, dalam proses pengeringan ikan garam yang selama ini dijalankan oleh warga setempat tidak efisien dan mutunya berkuarang. Ketika pengambilan sample untuk uji laboratorium, ditemukan masih terdapat bakteri yang diduga disebabkan oleh pengaruh cuaca saat penjemuran, dimana hasilnya tidak kering secara menyeluruh.

Selain itu proses pembuatan yang masih tergolong konvensional, tanpa terlindungi saat penjemuran merupakan faktor lainnya. Maka penggunaan rumah kaca yang masih berupa setelan konstruksi, telah didatangkan pada jumat (22/11) dan diharapkan dapat menjadi alat bantu penjemuran atau pengeringan.

Selanjutnya peserta yang terdiri dari kaum ibu dan bapak-bapak ini, diperkenalkan tentang contoh dan model kemasan produk. Disebutkan bahwa selain berfungsi sebagai wadah, juga dapat menjadi instrumen promosi.

“Terdapat tiga jenis kemasan. Kemasan primer yang langsung kontak dengan produknya, kemasan sekunder tidak langsung kontak dengan produk dan kemasan tersier yang merupakan gabungan dari dua jenis kemasan tadi. Prinsipnya adalah melindungi barang yang dijual dan menjual barang yang dilindungi,” jelas salah satu pelatih.

Sardjan Ismail, Kepala Desa Kolorai mengatakan bahwa, kegiatan ini sudah kali kedua dilakukan dari program yang sama. Namun pelatihan saat ini akan difokuskan pada satu kelompok nelayan saja, yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.

“Selain dilatih menerapkan pengelolaan ikan dengan metode ini, ibu-ibu juga nantinya diajarkan teknik membuat abon dan bakso ikan,” tutup Pala, sebutan warga untuk Kepala Desa.

JURNALIS WARGA HADIR DI PULAU KOLORAI



TERNATE - Sebagai upaya untuk melahirkan jurnalis warga ditingkatan komunitas kampung, WALHI Maluku Utara didukung oleh The Samdhana Institute, akan melaksanakan Diskusi Kelompok Fokus dengan tema “Jurnalisme Komunitas dan Metadata dalam perspektif Pemanasan Global di Maluku Utara” di Desa Kolorai Kabupaten Pulau Morotai.

Nursyahid Musa, staf WALHI Maluku Utara yang ditugaskan menjalankan program ini di Desa Kolorai menyampaikan bahwa, kegiatan ini akan dilaksanakan pada tanggal 24 November 2013, dengan jumlah peserta 10 orang. “Besok (hari ini, red) tinggal mempersiapkan teknis dan pemastian peserta kegiatan, targetnya peserta berasal dari berbagai latar belakang, diantaranya guru, staf desa, nelayan, pelajar serta perempuan,” ungkapnya.

Kegiatan yang juga didukung penuh oleh pemerintah desa setempat ini, akan menghadirkan Fahrudin Abdullah, Biro Malut Post Morotai sebagai narasumber. “Setiba di Daruba kamis kemarin, saya langsung berkoordinasi dengan dia (Fahrudin, red). Jadi untuk narasumber sudah final,” tambah Nursyahid.

Menurutnya, keluaran dari kegiatan ini, diharapkan peserta dapat mengikuti tahapan program selanjutnya, guna melahirkan jurnalis komunitas di Desa Kolorai yang dapat meneruskan informasi dan berita tentang apa saja yang berkaitan dengan desa mereka ke komunitasnya, juga ke ruang publik yang lebih besar.

Banyak hal-hal unik yang bisa diberitakan dari Desa ini, selain keindahan pulau dan pantai, banyak cerita juga bisa diberitakan. Funaemilik juragan ikan misalnya, menjadi transportasi alternatif bagi warga, bahkan hampir semua warga desa yang beraktifitas di ibukota kabupaten lebih memilih menggunakan funae ketimbang speadboat karena biayanya jauh lebih murah, bahkan lebih sering gratis.

Nursyahid juga menambahkan, saat ini Desa Kolorai sedang menjalankan program desa terkait bantuan untuk pelatihan budidaya dan pengelolaan ikan serta rumput laut. “Jika jurnalis komunitas bisa lahir disini, maka program desa semacam ini dapat dipublish keluar maupun kedalam kampung sendiri, sebagai informasi dan motivasi untuk warga,” tutupnya.



Nelayan di Pulau-Pulau Kecil Morotai “Tersudut” di Tepi Pantai



DARUBA - Meski krisis lahan darat dimana sisa areal dari pemukiman penduduknya tak bisa disebut hutan, karena seluruh kawasannya merupakan ekosistem pantai, namun tidak demikian dengan ruang kelola lautnya.

Bagaikan beranda kampung, sudah lazim warga Desa Kolorai menjadikan tepian pantai ini untuk bersantai dan beraktifitas. Pesisir timur “Pulau Kecil” Kolorai merupakan sentral kesibukan nelayan berinteraksi dengan alat alat produksi.

Letaknya sekira tujuh meter dari bibir pantai dan dibatasi sweering yang tingginya dari sekira 2 meter hingga merata dengan permukaan pasir. Di satu bagian tanggul ini terukir tanda jasa: “PNPM PARIWISATA….”

Areal ini menjadi tempat pendaratan sekaligus menambat perahu sehabis melaut. Ada puluhan perahu “Body” fiberglass dan katinting yang parkir di atas pasir putih. Sementara “perahu penampung” dan fonae menepi di bibir pantai.

Terdapat pula halaman khusus untuk pembuatan perahu yang dikerjakan oleh tiga tukang bersaudara kandung. Dimana pengetahuan tekniknya merupakan warisan dari sang ayah. Masing-masing dari mereka mengerjakan tiap-tiap pesanan.

Kecuali fiberglass yang merupakan bantuan Pemerintah daerah (jarang dimanfaatkan dan sebagian telah sekarat), rata-rata perahu ukuran besar, sedang, dan kecil hasil buah tangan ketiganya. Bahan didatangkan dari Daruba yang mesti disediakan langsung oleh pemesan.

Di sini sudah mentradisi suatu kaidah moral yang telah mengakar dalam laku warga. Meski tidak dioperasikan, mesin dan minyak di atas perahu, khususnya fonae tidak diamankan oleh pemiliknya. Semua alat nantinya dikeluarkan ketika perahu hendak dibersihkan.

Menurut Kepala Desa, Sardjan Ismail, masyarakat nelayan disini sudah “hatam” soal kepercayaan sosial yang telah terjalin secara turun temurun.

Adapun laut teduh di depan sana seakan menjadi pekarangannya. Dimana variasi warna laut pantainya hijau-kebiruan. Mungkin itu efek yang dihasilkan dari topografi dasar laut yang landai dan curam. Disitu terapung dua bagan serta delapan keramba jaring apung budidaya ikan kerapu dan kakap.

Untuk jenis ikan tersebut biasa diolah menjadi “ikan garam spesial”. Ada tiga jenis rasa. Salah satunya “ikan garam rasa bawang”. Produknya tidak dilempar di pasar.

“Jika ingin membeli harus datang di Kolorai dan dipesan tiga hari sebelumnya.” Ujar Kepala Desa yang akrab disapa “Om Pala”. “Hal tersebut merupakan bagian dari strategi pemasaran untuk menciptakan pasar di dalam kampung.” Tambahnya.

Berdasarkan laporan Bulanan Desa Kolorai, Maret, 2012, sebanyak 202 orang bekerja sebagai nelayan dari 506 jiwa. Semuanya terbagi dalam rutinitas kerja harian yang dinamis.

Untuk bafonae (mancing di laut lepas) dan basoma (menjaring), awaknya sekira 7-10 orang yang berpengalaman.

Rata-rata mereka dibekali pengetahuan dan teknik: penangkapan ikan untuk umpan; pemilihan umpan yang tepat; mengetahui waktu yang tepat; menaksir posisi ikan yang menjadi sasaran tangkap di laut lepas, membaca musim agar tidak melaut serta waktu melimpahnya ikan; menentukan jenis yang tidak boleh ditangkap.

Dari keterangan salah satu warga dan Kades Kolorai, dalam mengejar target di laut lepas, mereka pernah menjangkau perairan Morotai bagian Selatan Barat dimana terdapat aktifitas pertemuan arus.

“Tai arus!” Demikian istilah para nelayan di pulau kecil ini. “Banyak batang-batang pohon yang ditumbuhi rumput-rumput, terkumpul menjadi satu seperti membentuk daratan. Banyak ikan dibawahnya. Jangan disangka rap terus turun. “Gorango bintang” (hiu) juga banyak. Tapi di situ arusnya kuat.” Jelas kedua mantan awak tersebut yang telah lama pensiun.

Selain bagan yang merupakan metode penangkapan dari suku Sangir dengan target ikan teri, ada pula model mancing “ikan dasar” dengan perahu yang didorong mesin katinting dan “penggayung.”

Biasanya dikerjakan nelayan yang memiliki sarana tersebut. Untuk yang terakhir ini, hasil tangkapannya disebut “ikan makan”. Karena biasa sekedar mengisi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Namun jika melebihi standar kebutuhan, sebagian di jual ke juragan perahu penampung.

Lalu pengusaha penadah hasil tangkapan tersebut akan menimbang-nimbang harga ikan yang disodorkan dengan mengacu pada jumlah dan jenis serta permintaan pembeli dan pasar di Daruba.

Setiap saat ada saja ikan yang ditenteng kecuali ketika cuaca tidak mendukung dan laut berombak. Karena pada saat itu sebagian besar nelayan enggan melaut.

Para bocah terbiasa memancing di ujung jembatan sandar yang menjorok ke laut. Hasil tangkapan yang kecil akan dijadikan umpan untuk ikan besar. Terkadang ikan hasil mancing saat ditenteng mereka sampai ke rumah masih megap-megap.

“jika masih hidup, besok mancing akan dapat ikan yang sama.” Kata Ibu Kades memaknai hal tersebut yang memang sudah membentuk kepercayaan nelayan pada umumnya.

Berbeda dengan kehidupan nelayan di desa tetangganya di seberang pulau, Galo Galo Besar. Letaknya lebih jauh di Selatan Morotai dari Ibu Kota. Sebagian besar warga Kolorai juga berasal dari kampung ini.

Perbedaan mendasarnya terletak pada jumlah perahu dan intensitas “mengail” di laut lepas. Hanya sekira lima fiberglass yang itupun sebagian telah dimodifikasi menjadi perahu angkut penumpang.

Nelayan di pulau ini cenderung menggunakan katinting dan perahu “body” ukuran sedang ketika melaut. Namun untuk mencari “ikan makan” cukup dengan basoma dan juga bajubi (memanah ikan dengan menyelam) didekat bibir pantai. Salah satu kiatnya, hasil tangkapan akan dilempar ke pantai dan awak yang lainnya memungut.

Adapun Galo Galo Kecil—pulau disebelah yang tak dimukim. Jika air laut surut akan terbentuk jalan yang dapat dilintasi dengan berjalan kaki dari Galo Galo Besar. Saat itu sebagian warga akan memungut kerang yang terkuak.

Terdapat pula di sini usaha keramba ikan yang dikhususkan untuk pengunjung. Jika anda seorang wisatawan yang ingin memakan ikan bakar, penjaganya akan mempersilahkan anda memilih porsi yang diinginkan.




Transportasi Alternatif ke Pulau-Pulau Kecil di Bibir Pasifik


DARUBA - Ditengah mahalnya biaya transportasi laut menggunakan speedboat menuju pulau-pulau kecil di Morotai Selatan, khususnya Koloray dan Galo Galo, masih ada jenis sarana angkutan laut yang dapat dijangkau. Perahu penampung ikan dan perahu jenis Fiberglass yang biasa disebut “Body”.

Jika anda banyak uang tidak masalah untuk menggunakan speedboat yang harus dicarter untuk pergi pulang dengan tarif Rp. 500.000 hingga Rp. 1.000.000.

Bermula dari perahu penampung ikan milik juragan asal Desa Koloray yang rutin merapat di pesisir Daruba Pante, di sudut dermaga induk, belakang jembatan sandar speedboat. Lebar perahu sekira dua meter setengah dengan panjang 6 meter.
Dipagi hari pemilik dan awaknya akan menjual ikan di Ibu Kota Morotai, Daruba. Lalu membeli ‘es batu’ di satu warung makan terdekat yang kemudian diletakan dalam cool box.

Sudah lazim warga Koloray yang pergi dan kembali dari Daruba, menumpang perahu ini. Biasanya yang lebih dominan adalah kaum ibu sehabis belanja kebutuhan dapur atau stok kios. Gratis. Tidak ditarik biaya apapun.

“Mereka untung yang usaha kios di Koloray, sudah tidak keluarkan biaya transport…” Cerita “Om Man,” juragan perahu penampung.
Hal ini berlaku untuk siapa saja tidak terkecuali orang luar. Tinggal secuil pengertian dari penumpang. Itupun harus didesak secara serius agar niat memberi imbalan diterima.

Ketika semua keperluan beres, tuan perahu, mengajak lima orang perempuan paruh baya yang menggandeng barang bawaan untuk berangkat. Dalam pelayaran singkat itu terkadang para ibu bercanda dengan juragan dan satu awaknya yang bertugas sebagai juru kemudi.

“Aduh panas sampe! Lain kali pasang tenda sudah Man!” Begitu bunyi keluh salah satu ibu diikuti oleh yang lainnya, mengiyakan. “Kalau sudah pasang tenda berarti harus bayar.” Jawab Man cuek. Dari setiap obrolan mereka, selalu saja berakhir dengan tawa.

Setelah melewati dua tanjung yang terpisah dengan daratan besar Morotai di bagian selatan, pulau tujuan itu akhirnya tersingkap. Hanya 35 menit lamanya didorong oleh satu “mesin gantung 15 PK”, jembatan sandar yang memanjang ke laut itu pun menyambut.

Berbeda dengan perahu jenis Fiberglass dari Desa Galo Galo yang telah dimodifikasi khusus untuk mengangkut penumpang. Tarif yang dipatok sebesar 20.000 rupiah per orang, namun dipungut secara longgar. Setiap orang yang hendak menumpang biasanya menunggu instruksi dari majikan perahu seperti halnya ketika akan ke Desa Koloray.

Satu jam lebih lamanya waktu tempuh yang dibutuhkan untuk tiba di Pulau Galo-Galo. Tidak ada desain khusus untuk tempat duduk. Hanya bagian belakang untuk juru kemudi. Daya tampungnya sekira 15 orang. Jika muatan maksimal, maka para penumpang akan saling mengambil posisi mencari kenyamanan masing-masing.

Biasanya perahu akan lepas sandar menjelang siang hari, sehingga selama perjalanan orang-orang cenderung terserang kantuk. Ada yang tidur berdesakan dengan barang bawaan. Ada yang berbaring disamping penutup mesin. Hingga ada pula yang tidur di atas anjungan dalam posisi duduk.

Dari semua itu menjadi penting untuk ditegaskan kembali bahwa Indonesia adalah Negara Maritim. Bukan sekedar bunyi dalam seminar-seminar yang digelar Angkatan Laut. Dan Maluku Utara adalah Negeri Kepulauan bukan hanya sekedar pameran dalam publikasi pariwisata Pemerintah Daerah.

Di Maluku Utara terdapat 805 pulau. Namun belum semuanya terdata. Oleh karena itu sulitnya akses transportasi laut lintas pulau-pulau kecil di “Kepulauan Rempah-Rempah” saat ini adalah cermin dari model pembangunan yang ahistoris. Selain fasilitas yang tak memadai juga jasa angkutnya cenderung mahal.

Sehingga, kiranya idiom “nenek moyangku seorang pelaut” perlu untuk diurai kembali.


Air Yang Hilang




TERNATE - Matahari masih menyengat, walau telah pukul setengah lima sore. Kaki-kaki kecil yang lincah memainkan debu siang tadi, kini berjalan teratur dibelakang orang tua mereka. Tangannya menggenggam jerigen lima liter. Sementara orang tuanya memikul botol galon air mineral. Setiap sore, mereka harus berjalan mengambil air di bak penampung air hujan yang digunakan bersama-sama.

“sudah satu bulan lebih hujan tidak turun dan persediaan air di bak penampung juga hampir habis.” kata ibu lia, suatu sore dirumah seorang warga, disamping kantor Kelurahan Mado.

Kelurahan Mado, yang baru terbentuk berdasarkan Perda Kota Ternate Nomor 1 Tahun 2009 itu, tidak memiliki sumber air bersih yang lain, selain air hujan. Ada 41 bak penampung air hujan yang digunakan oleh 62 kepala keluarga.

“sudah dari dulu torang bagini. Sampe torang pe tubuh so tara bisa minum air yang laeng. Kalo torang minum air yang lain, pasti langsung buang-buang air. Jadi misalnya kalo torang mo pigi ke Ternate, torang pasti bawa air minum –air hujan yang dimasak– dari rumah.” Kata ibu Wen.

Di Kelurahan yang merupakan perkampungan awal di Pulau Hiri ini, sangat bergantung pada hujan. Kegelisahan sangat jelas terlihat diraut wajah mereka, ketika kemarau panjang melanda. Seperti pada tiga bulan terakhir ini. Setiap hari mereka mengharapkan datangnya hujan.

Untuk menghemat air hujan di bak penampungan, mereka terpaksa berjalan tiga sampai lima kilometer untuk pergi mencuci pakaian di sumur kelurahan tetangganya. Walaupun air di sumur tersebut pun kadar garamnya sangat tinggi.

“saya bacuci disitu tapi pakeang jaga baputih kalo so karing.” kata Ibu Ina.

Pemenuhan terhadap air bersih oleh Negara adalah hak dasar yang wajib didapatkan oleh setiap warga Negara. Tetapi setelah 68 tahun kemerdekaan RI, masyarakat Kelurahan Mado tidak pernah mendapatkannya. Mereka seakan hilang dari perhatian pemerintah.

Tawa kecil yang seharusnya meramaikan sore, terpaksa harus membantu memenuhi kebutuhan air bersih untuk keluarga. Dan mentaripun tenggelam sekeras cadas di kaki Mado.

Komnas HAM Investigasi Kasus Sawit Gane

LABUHA - Menjawab dokumen pengaduan kasus dugaan pelanggaran HAM yang diajukan warga Desa Gane pada 29 Agustus 2013 kemarin, di Room Bella International Hotel, Ternate, penyidik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, KOMNAS HAM, kini turun lapangan melakukan pertemuan dengan para korban tindak kriminalisasi. Setibanya di Bandara Babullah, Kota ternate, Selasa (12/11), dua penyidik Komnas Ham, Dwi Hartono dan Teguh, didampingi salah satu staf Walhi Malut, Faisal Ratuela, dan seorang warga Desa Gane Luar, Ajam, langsung menuju Labuha. Pertemuan tersebut sekaligus mengawali penyelidikan kasus terkait dugaan pelanggaran Ham yang dilakukan PT. Gelora Mandiri Membangun (PT.GMM), yang digelar di Hotel Buana Lipu, Kota Labuha, Kabupaten Halmahera Selatan.

Pertemuan dengan penyidik Komnas Ham tersebut dihadiri oleh 5 warga Desa Gane Dalam, satu warga Desa Kuo, seorang warga Desa Ranga Ranga, dan 3 orang dari Desa Gane Luar.

Di dalam forum, warga dari tiap desa itu kemudian mengulas latar masalah dan kasus yang membelit masyarakatnya saat ini. Dalam proses dialog mereka menyebutkan bahwa PT. GMM yang tengah memasuki fase pembibitan budidaya kelapa sawit saat ini, pada tahapan awal aktivitasnya tidak melakukan sosialisasi ke masyarakat. Hingga saat ini pun operator alat perusahaan terus bekerja menggusur lahan perkebunan warga di Desa Gane Dalam dan Gane Luar, Kecamatan Gane Barat selatan. Dirinci pula hal itu dialami oleh Harsoyo, Irfan Mansur, dan Sanusi, yang ketiganya juga menjadi korban tindak kriminalisasi oleh aparat kepolisian. Padahal manajamen perusahaan dalam hal ini humas PT. GMM pernah menjanjikan bahwa lahan produksi warga tidak akan digusur.

“Saya sangat kecewa terhadap proses penangkapan. Karena saya tidak diperiksa tapi langsung ditetapkan menjadi tersangaka.” Kesal Lutfi Bote, salah satu warga yang turut ditersangkakan.

“Sebelum Perusahaan beroperasi, di dalam desa tidak ada konflik. Tetapi semenjak perusahaan sawit itu beroperasi hubungan warga menjadi renggang dan langsung muncul konflik.” Tutur Bapak Murad, salah satu warga Desa Gane Luar. “Kami menginginkan agar perusahaan angkat kaki dari pesisir Gane karena kami tidak butuh perusahaan, yang kami butuh perkebunan kelapa, cengkeh, dan pala. Karena hasil perkebunan ini yang menghidupi kami sampai generasi selanjutnya.” Ucapnya lanjut.

Selain itu pihak kepolisian pun disebut-sebut menjual jasa keamanan mengawal aktivitas perusahaan dalam memperluas pembukaan areal perkebunan sawit.

Dari hasil dokumentasi lapangan oleh warga, tergambar ada aktivitas penebangan kayu di bantaran kali hingga roboh menindih badan sungai. Lantas dijelaskan warga bahwa dari hal itu sungai menjadi keruh dan masyarakat setempat harus membawa air mineral dari rumah ketika hendak ke kebun.

Sebelumnya warga desa yang menolak kehadiran perusahaan tersebut telah mengadu kepada DPRD, Pemerintah Kabupaten dan Propinsi. Namun sejauh ini, selama tiga tahun, hanya bunyi tanggapan yang tidak memuaskan. Akumulasi frustasi dari kasus ini tercermin kemudian dalam pernyataan sikap warga bahwa jika jalur legal formal yang ditempuh tidak menghasilkan penyelesaian yang baik dan adil maka “nyawa sekalipun akan menjadi taruhan.”

Setelah duduk dan mendengarkan keterangan, penyidik Komnas Ham, Mimin Dwi Hartono, kemudian memberikan keputusan bahwa: dari laporan pengaduan dan bukti-bukti yang ditemukan terdapat kejanggalan dalam berkas perizinan perusahaan. Dari situ dijanjikan kemudian hasil temuan ini akan disampaikan kepada Koordinator Komisioner Penyidik, Nurkhoirun, yang akan datang di Ternate pada Kamis (14/11). Adapun tujuannya adalah guna membawa dan membicarakan hasil penyelidikan tersebut kepada Polda Maluku Utara, Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan, dan berikut akan ditindaklanjuti ke Kementerian Kehutanan juga Kementerian Pertanian. “Selanjutnya hasil penyelidikan kami akan dikirimkan ke warga yang membuat pelaporan.” Jelas Mimin.

Sementara itu Manager Kampanye Hutan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, WALHI, Maluku utara, Faisal Ratuela, ketika dikonfirmasi terkait kasus ini mengatakan bahwa: dari hasil investigasi lapangan perusahaan tersebut telah melanggar Undang-Undang Kehutanan tentang larangan penebangan kayu disekitar sungai serta melanggar hak masyarakat tentang perlindungan ruang penghidupan rakyat yang tertuang dalam UU HAM. Ditegaskan pula kepada dinas terkait dalam hal ini BLH untuk segera menindak perusahaan sawit itu Karena secara langsung telah menentang UU No. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan UU Kehutanan No. 41.

“Investasi perkebunan sawit di Kecamatan Gane Barat Selatan dan Gane Timur Selatan, ketika tetap dilaksanakan akan mengakibatkan kehancuran tatanan sistem perlindungan ekologi.” terangnya.

“Baik itu daerah serapan air, sumber mata air, dan kawasan mangrove akan hilang. Akibatnya ruang sumber pemenuhan hak dasar untuk menopang kebutuhan ekonomi masyarakat akan musnah, baik daratan maupun pesisir laut.” tuturnya lanjut sekaligus memberikan solusi bahwa fungsi Pemerintah Daerah adalah memproteksi ruang produktifitas rakyatnya dan diprioritaskan sebagai sektor andalan pendapatan ekonomi.