SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Rabu, 15 Juni 2011

NHM – PIPA BOCOR dan PERTANYAAN “JUN” KECIL


Oleh: Ismet Soelaiaman
(Eksekutif Daerah WALHI MALUT)
Opini: radar Halamahera 8 juni 2011

“Kak, kiapa sebe se ancor torang pe rumah, kong ajus bilang Jun mo pindah sekolah di Duminanga ?”
Itulah sepenggal pertanyaan Jun kecil, yang kini telah duduk di bangku SMP, kepadaku suatu pagi di 25 Juni 2005. Jika di Indonesia kan, maka bunyi pertanyaannya, “ kenapa bapak menghancurkan rumah kita sendiri, dan ibu mengatakan, Jun akan pindah sekolah”. Jun, putra dari Abah Mansur, salah satu tokoh masyarakat, yang senantiasa menemani keseharianku di Dusun Buyat Pante, dan sekelompok anak kecil yang lain, kemudian cepat sekali lupa atas pertanyaannya sendiri. Mereka dengan ceria terus berlari dan bermain diantara kesibukan orang tua mereka membongkar bangunan rumah. 25 Juni 2005, warga Dusun Buyat Pante, harus tergusur dari kampung halaman mereka, karena tak lagi merasa aman dan nyaman hidup di lokasi, yang lautnya dijadikan areal pembuangan (Sub – Marine Tailing Disposal/ STD), limbah tailing PT. Newmont Minahasa Raya, salah satu raksasa pertambangan emas di dunia.
6 Juni 2011, sehari setelah peringatan hari lingkungan hidup sedunia yang diperingati setiap tanggal 5 Juni, hari Senin, hari dimana hampir semua instansi memulai aktifitas perkantoran mereka, sebuah judul berita di Harian Radar Halmahera, menggelitik rasa malu yang lebih dominan memunculkan amarah dalam pribadi. Judul berita tersebut tertulis, “PIPA TAILING PT NHM BOCOR - WARGA DIMINTA JANGAN MELAPOR KE WALHI”.
Merasa malu, karena seolah – olah kebiadaban pipa limbah tailing yang bocor mengawali bulan Juni itu tak pernah sampai ke telinga seluruh publik Maluku Utara. Dan lebih merasa malu, karena instansi resmi milik Pemerintah yang mengurusi persoalan Lingkungan Hidup, bahkan telah ada Kementriannya pula, yakni Badan Lingkungan Hidup, seolah tidak digubris oleh pihak NHM. Sementara, instasi tersebutlah, yang merupakan decision maker dari pelaksanaan Undang – Undang nomor 32 tentang Lingkungan Hidup.
Ini kali ke-tiga, pipa limbah tailing PT. NHM mengalami kebocoran (terlepas). Dan lewat bacaan berita media (Radar, Senin 6 Juni 2011), kejadian pipa limbah tailing NHM yang terlepas, dan memuntahkan LIMBAH tambang emasnya (bukan EMAS, tapi LIMBAH), yang mematikan sector produktifitas ekonomi masyarakat tempatan, proses penyelesaiannya, sepertinya akan menjadi drama sinetron dengan babak yang baru, tapi skenarionya masih scenario lama – scenario pipa bocor NHM pertama (17 maret 2010) dan pipa bocor NHM kedua (3 februari 2011), yang tak ada ujung penyelesaiannya.
Persoalan penurunan pendapatan Masyarakat Balisosang/Tomabaru (salah satu desa yang berada di lingkar tambang PT. NHM), bukanlah hal yang baru, dan terjadi ketika PT. NHM melepaskan limbah tailingnya ke alur sungai yang bermuara ke perairan Teluk Kao. Hal ini sudah dikeluhkan berulang kali oleh masyarakat sejak 2007. Pada bulan juni 2010, dalam sebuah sesi diskusi kampung di Tomabaru, yang dihadiri oleh Bapak Kepala Desa, ketua BPD, serta tokoh Agama dan perwakilan masyarakat Desa Tomabaru, saya sempat mencatat keluhan – keluhan mereka. Juga pada bulan yang sama, juni 2010, WALHI MALUT memfasilitasi perwakilan warga untuk hearing dengan pihak legislative Halmahera Utara, dan menyampaikan persoalan kesulitan akses air bersih di wiayah perkebunan mereka, yang menurunkan pendapatan ekonomi masyarakat tempatan. Malangnya, hingga insiden pipa limbah tailing PT. NHM terlepas untuk yang ketiga kalinya, suara rakyat Tomabaru, masih merupakan suara yang bisu dan terbungkam dihadapan instansi resmi pemerintah, yang selalu berslogan menghadirkan investasi pertambangan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Semakin riskan dan memiriskan, ketika dalam ruang media public, para elit politik, maupun eksekutif Maluku Utara, hanya sibuk berdebat dan berkelahi tentang besaran dana CSR PT. NHM, dan siapa yang akan meraup keuntungan dari dana, yang diperoleh lewat penghancuran sendi – sendi kehidupan masyarakat KAO dan Malifut itu. Perdebatan tentang keuntungan yang diraup NHM, 5 – 6 bahkan sampai 11 trilyun rupiah, terus menghiasi kolom – kolom media public di Maluku Utara. Sementara realita masyarakat Tomabaru, yang hampir seagian besarnya berasal dari Hoana Pagu, yang memiliki lahan adat di atas keserakahan modal NHM itu, tak pernah ada di Jazirah Halmahera.
…Lalu, di bulan Juli 2005, Jun dan sekolompok anak kecil, dengan memeluk lengan ibu mereka, sambil menatap reruntuhan sisa bangunan rumah, yang sebagiannya telah habis dilalap api, berlalu meninggalkan Dusun Buyat Pante. Apapun hasil keputusan pengadilan tentang tercemar atau tidaknya kondisi lingkungan hidup di perairan Teluk Buyat, yang adalah sumber produktifitas orang tua si Jun dan para orang tua yang lain, mereka terpaksa harus meninggalkan tanah leluhur mereka. Karena, warga Dusun Buyat Pante sadar, bahawa mereka sendirilah yang senantiasa setiap hari bergelut dengan kehidupan di seputaran Teluk Buyat, tempat pembuangan limbah tailing PT. Newmont Minahasa Raya. Mereka sadar, bahwa mereka sendiri yang merasakan, bukan para Hakim yang memutuskan perkara di pengadilan, bukan para kalangan akademisi atau pakar intelektual, bukan elit politik, bukan pejabat pemerintah, juga bukan LSM yang merasakan dampaknya. Tapi mereka, yah mereka, Pak Mansur Lombonaung, Anwar Stirman, ibunda almarhum Andini, serta warga Dusun Buyat Pante yang lain. Mereka yang saban hari lebih merasakan dampak buruk dari aktifitas pertambangan itu, sehingga memilih meninggalkan Dusun tercinta mereka, Dusun Buyat Pante di Sulawesi Utara.
Semoga, kisah nyata, yang tragis dari warga Dusun Buyat Pante, tidak sampai terulang di Jazirah AL-Muluk yang kita cintai bersama ini. Dan semoga kita semua, public Maluku Utara, tidak terbuka matanya nanti setelah pertanyaan Jun kecil, menjadi pertanyaan torang pe ade – ade, deng torang pe anak – anak di daratan besar Halmahera. Syukur Dofu – Dofu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar