SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Rabu, 29 Juni 2011

DILEMA PEMEKARAN


 
(Refleksi atas Secuil Realitas Maluku Utara)

Posko Malut, 28 juni 2011
Oleh:

Rahmat R. Wali

Penggiat PILAS Institute



Pemekaran daerah menjamur sejak 1999,

dan hingga 2004 terbentuk 148 daerah otonomi baru.

Akhirnya yang terjadi adalah upaya pemenuhan

ambisi elite setempat ketimbang aspirasi masyarakat.

Elite daerah memikirkan pemekaran

demi jabatan yang akan mereka peroleh.

(Agus hermawan, Kompas, 16/08/2007;48)



PEMEKARAN dengan kata dasar dari mekar mempunyai makna mengembang atau berkembang. Kata mekar sangat familiar di pakai untuk menyebutkan bunga. Ketika ditambahkan awalan ‘pe’ dan ‘an’ pada akhir kata, makna dari kata dasar pun berubah menjadi otonom, sehingga ketika kita mengatakan pemekaran, dalam benak orang selalu di identikan dengan wilayah atau daerah. Dalam konteks itu, daerah yang dimekarkan menjadi mandiri dalam mengurusi wilayahnya sendiri. Menurut penggagas Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid, daerah harus kreatif dalam menangani sumber daya yang di milikinya. Dengan kreatifitas, lanjut Ryaas secara tidak langsung, otonomi daerah bisa menjadi salah satu alat mengatasi krisis. (dalam Agus hermawan, Kompas, 16/08/2007;48).

Saat kebijakan otonomi daerah mulai digencarkan pada 1999, proyek pemekaran daerah sudah menjadi produk primadona. Harapannya pun tinggi, pemekaran dapat mensejahterakan rakyat (Yuliana Rini/Litbang, Kompas, 21/05/2008, 43). Ketika nuansa pemekaran daerah yang dibunyikan elit politik lokal menjadi satu wacana hangat di berbagai kalangan, pemekaran kemudian membentuk mainseet masyarakat bahwa akan terjadi otonomisasi yang mengarah pada kemajuan (kota). Kelompok menengah menjadi garda depan dalam menyuarakan pemekaran wilayah dengan semangat otonom dan bisa jadi telah menjadi tunggangan elit politik lokal, yang sarat dengan muslihat demi kepentingan dalam meraih kekuasaan.

Ketika kita balik menghitung umur kabupaten yang ada saat ini, kurang lebih enam tahun terakhir (2004 - 2011), terjadi pemekaran daerah dalam tubuh kabupaten induk (Kab. Maluku Utara dan Kab. Halmahera Tengah) yang dimekarkan menjadi Propinsi Maluku Utara 1999, juga tidak menunjukan sebuah kemajuan dari aspek kehidupan (kesejahteraan) masyarakat. Kab. Halmahera Selatan, Kab. Halmahera Utara dan Kab. Kepulauan Sula, sebuah pecahan dari Kab. Maluku Utara misalkan, ketika dimekarkan banyak kalangan mulai dari akademisi, aktivis NGO, birokrat, pengusaha, politisi sampai mahasiswa mewacanakan tiga wilayah tersebut adalah kabupaten yang akan cepat “mekar” ketika dilihat dari regulasi ekonomi dan Sumber Daya Alam plus Sumber Daya Manusianya. Namun yang terjadi, otonomisasi malahan telah melahirkan “krisis moral” pada elite politik lokal dan birokrasi.

FAKTA SEBAGAI CERMINAN

Faktanya, saat ini Kab. Halmahera Selatan mengalami devisit pada tahun 2008 – 2009. Sehingga terjadi penandatanganan Momerandum of Understanding (MOU) dengan pihak ketiga dalam peminjaman uang untuk kepentingan daerah. Ini menunjukan bahwa sebuah wilayah yang besar yang mempunyai SDA yang memadai dan regulasi ekonomi yang sangat bagus, namun hal tersebut tidak menghasilkan apa-apa (kesejahteraan sosial). Yang ada hanyalah gedung besar megah menjadi pusat pemerintah kabupaten yang berdiri kokoh. Karena, terjadi devisit keuangan daerah mempengaruhi kondisi sosial dan juga pembangunan daerah itu sendiri dalam aspek sosial dan ekonomi. Di sisi lain, demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa, berujung pada benturan fisik dengan aparat keamanan yang menghasilkan korban pada mahasiswa, dalam tuntutannya soal pemekaran daerah adalah sebuah fakta bahwa, distribusi pembangunan tidak merata dan bisa jadi, dijadikan kuda troya oleh elite lokal yang berkepentingan dalam pemekaran.

Hal ini juga ketika kita lihat pada Kab. Halmahera Utara, kemajuannya lebih diarahkan pada pembangunan intrastruktur dan juga penataan kota dalam mempercantik pusat kabupaten. Padahal rakyat masih tertatih tatih dalam mencari sesuap nasi, kedaulatan rakyat dipermainkan pemerintah dengan memberikan ijin kepada perusahaan perusak lingkungan (kehidupan sosial). Sampai saat ini kebijakan pemerintah tidak pernah berpihak pada rakyat, ketika rakyat menuntut dan memperjuangkan hak–hak mereka. Padahal, pada dasarnya rakyat adalah pemegang kedaulatan atas sumber-sumber penghidupan di wilayah yang mereka tempati bertahun tahun dan kini telah di kuasai perusahaan asing (baca; company). Sehingga perjuangan masyarakat Kao Malifut, bukan hanya memperjuangkan tanah leluhur mereka, tapi juga berjuang dalam mempertahankan hidup. Masyarakat di dua wilayah tersebut telah mengalami perubahan dari aspek pekerjaan, dari tani dan nelayan ke buruh dan penambang tanpa ijin (PETI). Lalu di mana substansi dari pemekaran (kesejahteraan).

Begitu juga Kab. Kepulauan Sula, adalah sebuah kabupaten yang sarat dengan perijinan (HPH dan Ijin KP), alamnya gersang di cabik cabik tanpa ampun. Proses pengelolaan Sumber Daya Alam yang tak pernah membawa masyarakat untuk keluar dari masalah. Malahan menciptakan masalah, sehingga rakyat kepulauan sula pun belum menikmati hasil dari pemekaran tersebut.

Dari secuil kasus di atas yang terpublikasi ke permukaan, bisa jadi ada sejuta masalah yang belum terkuak seperti gunung es yang hanya kelihatan puncaknya. Hal ini telah membuktikan bahwa pemekaran enam tahun terakhir ini, belum juga membuahkan hasil yang substansial (kesejahteraan sosial). Sebuah dilema pemekaran yang harus dijawab oleh pemegang kekuasaan saat ini, sebelum melangkah lebih jauh lagi.



PEMEKARAN, UNTUK SIAPA..?

Belum lama ini, ramai dibicarakan masyarakat mulai dari kampong sampai kampus akan terjadi pemekaran wilayah di tubuh kabupaten induk yang dianggap layak. Media massa juga ramai memberitakan soal pemekaran tersebut. Maraknya pemekaran wilayah yang diteriaki di bebarapa daerah oleh kelompok muda (mahasiswa, paguyuban) untuk membumikan isu ke masyarakat soal pemakaran dengan mobil truk yang dilengkapi dengan sound system. Dengan nada semangat, membakar setiap orator melakukan orasi dalam menyampaikan isu. Tanpa pikir banyak, rakyat yang mendengar hal tersebut langsung menanggapi dengan semangat. Kesan yang ditangkap ketika mendengar pemakaran tersebut, yaitu daerah akan mandiri dan rakyat akan mengalami kesejahteraan sosial. Benarkah..?

Sebuah gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam meneriaki pemekaran wilayah seakan murni tanpa ada tendensi apa-apa. Namun, gerakan tersebut murni dan atau tidaknya, tetap peluang ini dicuri oleh elit politik dan juga para elit birokrasi. Karena pemekaran berhubungan dengan kekuasaan. Seperti lahan baru yang membutuhkan orang untuk mengelolanya. Begitu juga pemekaran wilayah membutuhkan pemimpin baru dan juga perangkat lainnya (DPRD).

Dalam aspek sosio-politis, proses pemekaran wilayah untuk menjadi daerah otonom baru, sarat dengan kepantingan “segelintir orang”, ujung-ujungnya bagi-bagi wilayah kekuasaan. Karena ketika isu pemekaran baru di gulirkan, hal ini hanyalah ruang yang diciptakan oleh elite lokal untuk menjadi penguasa baru atau perebutan wilayah kekuasaan di kabupaten sudah tidak lagi menuai hasil dan bisa jadi alasan pemekaran yaitu membangun dinasti demi kekuasaan tetap dalam genggaman.

Problem pemekaran berakar pada kuatnya kepentingan elite daerah dan pusat. Daerah otonom baru lebih banyak menjadi arena pertarungan memperebutkan ranah kekuasaan di DPRD dan jabatan Birokrasi (Suwardiman/ Litbang Kompas, Kompas, 21/05/2008, 44). Lalu di mana substansi dari pemekaran tersebut (untuk kesejahteraan sosial), ketika Obi, Taliabu, Galela–Loloda dan Kao-Malifut berteriak untuk mekar menjadi kabupaten baru, akankah seperti kabupaten yang ada, hasil dari pemekaran 2004. Yang mempunyai semangat pemekaran daerah halnya seperti bunga yang mengeluarkan pucuk indah, kemudian mekar setelah itu layu. Terima kasih [‘]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar