SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Rabu, 15 Juni 2011

DARI CHICO MENDEZ SAMPAI KE HUTAN HALMAHERA


Opini Malut Post, 27 februari 2011

Oleh : Ismet Soelaiman
Eksekutif Daerah WALHI MALUT


Lelaki itu akhirnya harus tumbang diujung moncong bedil, yang meletus tepat di belakang rumahnya. Dadanya berlumuran darah. Sambil memegang kepalanya, limbung ia melangkah, tertatih masuk kembali ke dalam rumahnya, hanya untuk melihat satu orang istri dan kedua bocahnya yang masih belia untuk yang terakhir kalinya. Lalu ia jatuh – terkapar, dan menghembuskan nafas terakhir. Chico Mendez, lelaki dari pedalaman Amazone yang kharismatik itupun akhirnya meninggal. 

Itulah sepenggal film yang saya cuplik dari kisah perjuangan warga Chacoeira – Brazil, yang mempertahankan hutan karetnya dari segelintir orang yang serakah. Atas nama kemajuan dan modernisasi, sector pendapatan ekonomi warga local mesti diluluh-lantakkan. Petani kehilangan lahan garapannya, lalu dipaksa beralih fungsi menjadi buruh pabrik. Mereka, warga Chacoeira itu, tak mengerti apa itu Pemanasan Global. Yang mereka pahami dan yakini hanyalah, “ Jika kau mengambil lebih dari hasil Hutan, maka Curupira (Manusia Cebol penjaga hutan), akan marah dan mengambilmu”. Untuk kepercayaan local itu, maka hutan tropis Amazone di belantara Brazil, senantiasa menjadi salah satu peredam laju emisi karbon, penyebab global warming di permukaan bumi yang semakin uzur ini. 

Ia, Chico Mendez itu, tak pernah bermimpi menjadi pahlawan. Ia hanya ingin orang kampungnya bekerja dan maju bersama kearifan tradisional mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber produktifitas ekonominya. Mereka tak menolak modernisasi zaman. Yang mereka tolak hanyalah hutan yang adalah lahan tani mereka dirampas dengan cara-cara yang licik. Ketika sebuah investasi asing datang dengan proyeksi ekonomi mereka, lalu menggunakan kekuatan politisi, militer dan para militer (preman), merampas sumber kehidupan warga Chacoeira, mereka-warga di pedalaman Amazone itu bangkit, bersatu dan melawan. Mereka paham, jika sendiri, maka mereka pasti terlibas kebiadaban koorporatokrasi (perkawinan birokrasi dan koorporat yang dibentengi militer). Korban berjatuhan, tapi mereka-warga kampung itu tetap berlawan memperjuangkan hak mereka. Dan Chico Mendez menjadi ikon perjuangan itu.

Hutan dan Warga Halmahera

Banyak dari kita, warga Halmahera yang hidup di Ternate tak pernah tahu, berapa luasan hutan di Jazirah Halmahera. Banyak pula dari kita yang tak pernah mau tahu, seberapa besar sumbangsihnya bagi kehidupan masyarakat sekitar. Sementara, saya cukup meyakini, keterdidikan kita, kecerdasan dan kapasitas intelektual yang kita miliki saat ini, cukup besar sumbangsihnya dari hasil kopra, pala, cengkeh, dan hasil laut para orang tua kita yang berada di kampung-kampung Halmahera. Tidak sedikit dari kita, yang saat ini tak lagi gagap dengan segala hal ihwal modernisasi zaman, adalah buah kasih dari sepasang petani atau nelayan di tanah besar sana. Dan hutan-hutan itu kini telah terancam, bahkan ada yang telah hilang bersama kampung halaman warga tempatan.

Mari kita mulai membacanya dari pulau di selatan Maluku Utara. Pulau Taliabu dan Mangoli, entah berapa banyak warga yang telah dimasukkan ke penjara, atau diintimidasi oleh aparat, karena dipaksa melepas tanah garapannya, saat konsesi hutan beroperasi di wilayah tersebut. Ketika konsesi hutan selesai, warga local diperhadapkan dengan maraknya izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Ratusan hektar konsesi diperuntukkan bagi tambang. Data Sula Mining Watch terdapat ± 21 izin kuasa pertambangan, sementara data dari ESDM pusat, di Kabupaten Sula terdapat 116 izin KP,  yang tentunya sebagian konsesi itu berada di wilayah perkebunan warga. Jika demikian, lalu bagaimana dengan nasib warga yang areal ruang hidupnya masuk dalam kawasan konsesi tersebut ? Adakah mereka tetap bertahan, berlawan, atau jangan-jangan telah tergusur dan kita tak pernah mengetahuinya. Penting kiranya bagi kawan-kawan Mahasiswa Sula mengabarkannya kepada dunia, karena orang-orang yang terlindas keserakahan zaman itu, adalah saudara kita juga.

Di Halmahera Selatan, sempat mencuat di media publik Maluku Utara, protes dari warga terhadap konsesi tambang di Pulau Obi. Ada pula konsesi hutan di wilayah Gane. Di Halmahera Utara, pesisir laut dan pulau-pulau kecilnya yang menawan, hampir penuh dengan konsesi tambang pasir besi. Ada pula raksasa pertambangan emas PT. Nusa Halmahera Mineral yang hobi memecahkan pipa limbahnya dan mengancam kesehatan hidup warga tempatan. Di Halmahera Tengah, Pulau Gebe telah usai dilumat kekayaan nikelnya oleh PT. ANTAM dan menyisakan banyak kisah duka dari pulau tersebut. Di daratan Halamahera Tengah, ada pula raksasa pertambangan nickel, yakni  PT. Weda Bay Nickel, yang hingga kini tak becus mengurus pembebasan tanah warga local di Sagea, Lelilef, Kobe dan Gemaf. Di ujung daratan Halmahera Tengah, tepatnya di seputaran Tanjung Ngolopopo-Patani, ada pula konsesi hutan yang menggusur areal perkebunan pala warga local.

Di Halmahera Timur, inilah tempat laboratorium kecil para investor tambang dan kayu. Semuanya berlomba menguras isi perut buminya, dan menggusur lahan petani, mengotori pesisir dan wilayah tangkap nelayan dengan air coklat lumpur dari daratan produksi mereka. Lihat saja, betapa gersang dan tandusnya Pulau Gei dan Pulau Pakal. Benar, sebagian warga tiba-tiba memiliki uang yang banyak, tapi apa sebutannya bagi petani jika tanah dan lahan garapannya tak lagi ia punya. Di Morotai, kasus rebutan lahan antara warga-pemerintah daerah dan Angkatan Udara, terus saja mencuat di permukaan, namun hingga kini solusinya masih tetap buram. Belum lagi usai kasus tanah itu, sekonyong-konyong berita akan tergusurnya beberapa desa di daratan Morotai akibat investasi pertambangan pasir besi mencuat ke permukaan. akankah mereka tergusur, atau justeru telah tergusur ? Apa kabar Mahasiswa Morotai. Adakah kalian mau mengabarkannya kepada kami, saudara kalian yang berada di pulau lain ?

Chico Mendez tak pernah bermimpi menjadi pahlawan. Ia dan warga Chacoeira di zaman itu, juga tak butuh program REDD (Reduction Emision for Degradation & Destruction), untuk menyelamatkan hutan dan sumber-sumber kehidupan mereka. Karena disana, di pedalaman Amazon, sebuah perkampungan kecil di pelosok Brazil, Mendez dan orang kampungnya punya Curupira, dan itu sudah cukup membentengi mereka dari keserakahan atas eksploitasi alam. Mereka juga tak terlalu butuh banyak ikon perjuangan untuk berlawan dan merebut kembali tanahnya. Mereka hanya sadar, bahwa bersatu kita teguh, dan bercerai kita runtuh. Perjuangan mereka-warga kampung itu berhasil. Perusahaan asing, yang diback up penuh elit politik dan aparat militer, akhirnya mundur dan angkat kaki dari wilayah kehidupan mereka. Satu pembelajaran yang bisa kita petik dari film berdurasi ± 90 menit itu, bahwa semua itu mungkin jika kita bersatu dan mau memperjuangkannya. 

Tanah dan warga di Maluku Utara sedang dan berada dalam ancaman penggusuran. Kita tak lagi berdaulat atas ruang hidup kita sendiri. Sementara, Chico Mendez tak pernah bermimpi menjadi pahlawan pejuang lingkungan. Namun, minimal, ia sang orang kampung itu, bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Adakah demikian hai saudara kampungku Moluko Kie Raha ? Tabea.
   Kantor FOSHAL, 26 februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar