SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Senin, 29 Agustus 2011

Menampuk EPA Jepang-Indonesia di Kepala Nelayan Morowali

oleh : Lian Gogali


“Indonesia harus menjamin pasokan gas alam untuk Jepang, selain itu harus segera menyelesaikan Undang-Undang Penanaman Modal” pernyataan ini disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, November 2006 menanggapi Presiden Yudhoyono yang mengatakan penting untuk mempercepat penyelesaian perundingan Economic Partnership Agreement (EPA) Indonesia – Jepang. Setahun kemudian keduanya menandatangani surat persetujuan EPA. 6 diantara 7 proyek tersebut adalah eksploitasi energi di Indonesia. Setelah efektif diberlakukan Juli 2008, hubungan Indonesia dan Jepang tidak lepas dari politik energi dan sumber daya alam.

Untuk memenuhi pasokan energi yang dibutuhkan Jepang atau menjalankan EPA, di pantai timur Sulawesi Tengah, PT Pertamina Medco Tomori Sulawesi yang merupakan joint venture antara pemerintah dan Medco Energy melakukan eksploitasi minyak dan gas Blok Donggi-Senoro.

Perwujudan EPA ini kemudian mengubah ribuan kehidupan para nelayan dan petani di Morowali. Ekosistem laut hilang dan rusak, para nelayan kehilangan sumber mata pencaharian, merugi hingga milyaran rupiah pertahun;ratusan hektar tanah petani digusur paksa. Puncaknya tanggal 22 Agustus 2011, 2 nelayan tewas, 5 orang kritis terkena tembakan, 17 orang nelayan ditangkap dikenai tuduhan melakukan pengrusakan bersama-sama terhadap fasilitas perusahaan dengan ancaman kurungan lima tahun lebih.

Ironisnya, menanggapi peristiwa penembakan ini Pemerintah Indonesia melihatnya hanya sebagai gangguan kecil karena tidak lancarnya program Community Development sebuah program yang sering disebut sebagai tanggungjawab sosial perusahaan. Sebaliknya bagi para nelayan, aksi protes ini merupakan akumulasi ekspresi terhadap ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam.

Rasa ketidakadilan ini dirasakan jauh sebelum aksi protes di Tiaka.”Sekarang.kami tidak bisa bertahan hidup hanya dengan memancing.Ikan-ikan sudah lari,terumbu karang banyak yang mati, mau melaut lebih jauh kami ini nelayan tradisional,perahu kami tidak sanggup,pengangguran bertambah banyak.Mau melaut susah, mau bertani tidak ada lahan” Kata Andri, seorang korban yang ikut tertembak dalam aksi “Kami meninggalkan tradisi nenek moyang kami yang hidupnya bergantung di perairan Tiaka. Banyak yang beralih menjadi buruh sawit”.

Oleh karena itu peristiwa penembakan dan penangkapan nelayan Kolo bawah seharusnya dilihat sebagai bentuk lanjut dari tanggung jawab negara atas penghancuran corak produksi masyarakat, jauh sebelum peristiwa aksi massa di Tiaka.

Pertama, negara bertanggungjawab dalam penghancuran sistem ekonomi nelayan dan petani di pantai Timur Sulawesi Tengah melalui kebijakannya. Antara lain menerbitkan Kontrak Karya, menggusur,memindahkan,merampas lahan produksinya (tanah,laut), memaksa dan mengintimidasi masyarakat, hingga mengerahkan pasukan TNI/Polri untuk meminimalisir perlawanan masyarakat termasuk jika harus membunuh.Kebijakan ini adalah bentuk peranan negara menciptakan ruang bagi perluasan sistem ekonomi kapital (yang dipastikan mulus setelah menghancurkan corak produksi rakyat). Penghancuran inilah yang diprotes oleh gelombang aksi massa di Tiaka.

Kedua, penghancuran corak produksi masyarakat berlangsung bersamaan dengan pengrusakan lingkungan hidup yang luar biasa. Terumbu karang hidup di Tiaka yang menjadi lahan produksi nelayan bukan saja hilang setelah ditimbun menjadi pulau buatan, namun juga merusak ekosistem laut. Pulau buatan yang menjadi pusat pengeboran minyak bumi ini dipastikan merusak ekosistem terumbu karang seluas 44 hektar (WALHI,2002).Tentu saja membatasi akses nelayan dan mengakibatkan ribuan nelayan kehilangan mata pencaharian.

Ketiga, kebijakan yang menghancurkan corak produksi masyarakat ini tidak diikuti dengan agenda pembangunan domestik jangka pendek, yaitu mengurangi pengangguran dan menstimulus pertumbuhan ekonomi. Rakyat di Sulawesi Tengah diperas kekayaan alam-nya untuk pembangunan infrastruktur yang memajukan kegiatan produksi kapitalis (teknologi tinggi dan padat modal) lalu dibiarkan,dipinggirkan bahkan dibunuh jika akan memperjuangkannya. Dengan kata lain, setelah menjadi penyedia bahan baku untuk produksi kapitalis di tempat lain, hidup rakyat di Morowali (dalam konteks ini) dibiarkan seperti tikus yang mati di lumbung padi. Dalam hal inilah pernyataan bahwa aksi protes masyarakat dipicu oleh ketidakpuasan kebijakan Community Development perusahaan terasa sangat sempit. Sebaliknya kesadaran masyarakat terhadap hal ini yang mendorong mereka melakukan kritik dengan cara yang mereka pahami.

Keempat, tidak hanya soal kebijakan,kepemilikan Blok Donggi-Senoro dikuasai oleh segelintir kelompok. Pemilik saham terbesar adalah Mitsubishi Corp dengan 51% hak dan keuntungan, sementara Pertamina memegang 29% dan Medco Energy 20%. Bukan hanya bahwa negara lain merupakan pemegang saham terbesar, tapi jelas bahwa rakyat, dimana sumber daya alam tersebut dikelola tidak mendapatkan keuntungan apapun. Dalam hal inilah tindakan aparat keamanan yang menembak massa aksi membabi buta menunjukkan ketidakberpihakan negara pada rakyat tapi pada pemodal. 

Oleh karena itu protes dan kritik terhadap penembakan,penangkapan warga perairanTiaka adalah gerakan penolakan terhadap upaya penghancuran model ekonomi masyarakat (pra-kapitalis), menentang segala bentuk kebijakan yang memusnahkan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk penyingkiran masyarakat adat; gerakan yang menentang dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan perusahaan; perjuangan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam pada rakyat atau membongkar penguasaan sumber daya alam di tangan sekelompok perusahaan. Sebuah gerakan yang sebenarnya telah dimulai oleh warga Tiaka dengan cara yang mereka pahami.

Jika tidak pola yang sama dipastikan akan terjadi dibagian lain di wilayah negeri yang kaya sumber daya alam ini. Dengan kata lain, perjanjian politik ekonomi untuk kepentingan kapital dan segelintir kelompok diletakkan di kepala para nelayan,petani, meski harus mati.


@LianGogali untuk Forum Solidaritas Anti Kekerasan - Tiaka

(juga dipublish di www.engagemedia.org ->english version dan www.perempuanposo.com)

Sabtu, 27 Agustus 2011

Korban Tiaka Tolak Pengacara Pilihan Polisi, Minta BAP Ulang


Berita Tiaka,27/08/2011. Keluarga korban penembakan di Tiaka menunjuk Tim Advokasi Morowali Bersatu sebagai kuasa hukum yang mendampingi korban. Penunjukkan ini sekaligus bentuk penolakan terhadap pengacara yang ditunjuk oleh Polda Sulteng.Penolakan keluarga korban terhadap pengacara pilihan polisi, ditangapi dingin oleh Polda Sulteng. Polda Sulteng bahkan tetap bersikukuh menggunakan pengacara pilihan mereka tanpa alasan yang jelas.

“Banyak proses hukum yang janggal dalam kasus penembakan di Tiaka” kata Ariestal, kuasa hukum warga Tiaka. “ Setelah proses interogasi, warga Tiaka langsung ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman pasal 170 KUHP, yaitu pengrusakan secara bersama-sama, dengan maksimal hukuman kurungan 5 tahun lebih.Saya sudah tanya ke warga apakah pihak kepolisian menjelaskan dengan tuntutan tersebut mereka bisa menentukan dan memilih pengacara, semua warga Tiaka yang diperiksa mengatakan kalau polisi tidak menjelaskan prosedur itu. Sebaliknya mereka langsung di BAP, tanpa pengacara. Lebih aneh lagi setelah selesai di BAP, Kapolda Sulteng langsung menunjuk pengacara pilihan mereka".

Masih menurut Ariestal, pada saat BAP, sebenarnya dia dan Saras Muniggar, kuasa hukum lainnya, sudah berada di Mapolda Sulteng meminta penjelasan soal status hukum warga Tiaka yang ditahan. Kedatangan mereka sebagai kuasa hukum yang ditunjuk oleh keluarga korban.Namun pihak Polda Sulteng bukan hanya tidak menjelaskan proses dan status hukum warga Tiaka namun saat itu tidak mengijinkan mereka untuk menemui korban.

Karena itulah kuasa hukum warga Tiaka menyatakan BAP yang dilakukan Polda Sulteng tidak sah dan menuntut dilakukannya BAP ulang dengan didampingi pengacara yang ditunjuk oleh korban dan keluarga korban.Pihak Polda Sulteng bersikukuh telah melakukan prosedur hukum yang benar dan bahwa BAP sudah sah. Namun, Polda Sulteng tidak menjelaskan berbagai kejanggalan proses hukum yang dikritik dan diprotes oleh tim kuasa hukum dan pihak keluarga.

@ForumSolidaritasAntiKekerasan-TIAKA

Warga TIAKA: Setelah Ditembak, Kami Dipukuli Popor Senapan


Berita Tiaka, 27/08/2010. Polda Sulteng terbukti merekayasa cerita penyanderaan polisi dan perampasan senjata oleh warga. Informasi ini didapatkan setelah Tim Advokasi Morowali Bersatu menemui korban dan warga yang ditahan bersama dengan keluarga, juga menghubungi korban selamat di Tiaka. Bahkan sebaliknya, polisi bukan hanya melakukan penembakan membabi buta tapi juga penyiksaan dan menyandera korban.

Salah satu warga korban penembakan menceritakan “Yurifin, terkena tembakan di dada sempat mengeluh kesakitan dan meminta air minum. Namun salah seorang anggota Brimob menjawab sambil menodongkan senjata “tidak usah minum,kau mau mati sekarang”. Selanjutnya Saksi T,yang juga terkena tembakan bermaksud menolong malah dipukul dengan popor senapan berulangkali. Saat itulah Marthen sudah tewas ditempat.

Masih menurut informasi warga, 17 warga Tiaka dibuang dipindahkan ke kapal cepat milik perusahaan, setelah perahu mereka diberondong tembakan. Sementara itu belasan warga lainnya yang berada di perahu dilucuti dan pakaian mereka dibuang ke laut. Dengan hanya menggunakan celana dalam (salah satu warga malah dibiarkan telanjang), warga dibawa ke Polsek Desa Rata dan dianiaya. Kepala warga diberikan helm dan dipukul berulang kali menggunakan popor senapan. Yurifin kemudian tewas di RS sakit karena setelah ditembak masih disiksa oleh polisi.

Warga dibawa ke Mapolda Sulteng yang jaraknya kurang lebih 800 KM, dan tiba pukul 05.00 dinihari. Seluruh warga baru diberikan pakaian pada pukul 10.00. Polda Sulteng langsung melanjutkan interogasi dan menetapkan mereka sebagai tersangka dengan tuntutan pasal 170 KUHP, yakni pengrusakan secara bersama-sama, dengan maksimal kurungan di atas 5 tahun.

Saras Muniggar salah satu kuasa hukum menegaskan “Warga bukan hanya diproses dengan cara yang tidak adil dan menyalahi prosedur hukum, sebaliknya mereka disiksa, dianiaya baik fisik mapun psikologi. Karena itulah kami menuntut agar proses hukum berlangsung transparan; melakukan BAP ulang dan aparat keamanan yang terlibat dalam penembakan dan penyiksaan itu diproses secara hukum”

@ForumSolidaritasAntiKekerasan-TIAKA

Jumat, 26 Agustus 2011

Polisi Lakukan Penembakan Jarak Dekat


MAKASSAR, KOMPAS.com — Cerita soal penyanderaan polisi dianggap sebagai manipulasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian sendiri. Andri Muhammad Sondeng, kordinator aksi dari Forum Masyarakat Mamosalato, menegaskan sekaligus membantah pernyataan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo.

Pernyataan Kapolri itu dituding sebagai upaya manipulasi fakta atas insiden yang telah merenggut dua nyawa tersebut. Sebelumnya, seusai menghadiri acara safari Ramadhan dan pengarahan TNI-Polri di Balai Manunggal Makassar, Kapolri mengatakan, insiden penembakan di wilayah eksplorasi JOB Pertamina-PT Medco S & Tomori di Blok Senoro Toili, Kecamatan Morowali, Sulawesi Tengah, itu terjadi karena massa melakukan pelanggaran hukum dengan menyandera polisi.

"Kapolres Morowali bersama anggotanya disandera selama enam jam sehingga ini membuat anggota kami bertindak terhadap warga yang aksi," kata Kapolri, malam tadi.

"Polisi dan karyawan PT Medco numpang untuk meninggalkan Pulau Tiaka. Di tengah jalan, di perairan, kami dihadang oleh pasukan polisi. Tanpa peringatan dan negosiasi, mereka menembak membabi buta dalam jarak yang dekat," kata Andri.

Andri menjelaskan, jarak tembak hanya sekitar 5 meter dari posisi mereka. Para pendemo dan warga tidak melakukan perlawanan selain berupaya memberi peringatan tangan ke atas untuk menghentikan tembakan.

Untuk menghindari tembakan, sebagian warga memilih lompat ke dalam air dan berenang. Dalam insiden tersebut, dua korban, yakni Jusrifin, mahasiswa Universitas Negeri Gorontalo, dan warga setempat, Marten, tewas.

Andri berada di Makassar berdasarkan rujukan Rumah Sakit Daerah Luwuk untuk melakukan tindakan operasi pengangkatan proyektil di dadanya. Kamis (25/8/2011) ini, Andri menjalani operasi pengangkatan proyektil.

Bukti Buruknya Keberpihakan pada Warga

JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan pengelolaan sumber daya alam Indonesia mengasingkan rakyat setempat. Keterasingan rakyat terhadap proyek pengelolaan sumber daya alam telah lama terjadi di Desa Kolo Bawah, Baturube, dan Pandauke di Kecamatan Mamosalato, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Hal ini salah satunya yang memicu tuntutan tuntutan warga dan berujung pada bentrok yang menimbulkan dua korban jiwa dari pihak warga.

Kejadian itu berlangsung 22 Agustus 2011 di lokasi pengeboran minyak lepas pantai di Tiaka Kecamatan Mamosalato, Morowali, Sulawesi Tengah yang dikelola PT Medco dan Pertamina.

Menanggapi hal ini, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Pius Ginting, Kamis (25/8/2011) di Jakarta, menjelaskan demi mengeksplorasi daerah Tiaka, lepas pantai Teluk Tolo, Medco dan Pertamina mendirikan pulau buatan seluas 100 hektar di kawasan terumbu karang.

Terumbu karang merupakan rumah ikan di laut, dan daerah tersebut merupakan wilayah tangkapan nelayan. Berdasarkan penilitian WALHI pada tahun 2003 pendirian pulau buatan ini merusak ekosistem terumbu karang setempat seluas 44 hektar..

Sebelum pembangunan pulau dilakukan, 80 persen karang di gugus karang Tiaka dalam kondisi baik, juga ekosistem bagi ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) dan kerang kima raksasa (Tridacna Spp) yang terancam punah.

Materi penimbunan pembangun Pulau Tiaka diambil dari Desa Pandauke melewati Desa Kolo Bawah. Sekitar tiga juta ton pasir dan kerikil untuk tempat pulau fasilitas pengeboran ini dipindahkan sejauh enam kilometer.

Penduduk Desa Kolo Bawah yang terdiri dari 300 keluarga, 90 persen bermata pencaharian sebagai nelayan karena tanah di sekitar desa tidak subur untuk bercocok tanam. Terumbu karang Tiaka adalah tempat utama para nelayan itu mencari ikan selama bertahun-tahun.

Pengakuan para nelayan dan para penampung hasil laut dalam penitian WALHI 2003, semenjak daerah inti Terumbu Karang Tiaka dijadikan pulau buatan untuk pusat pengeboran migas JOB Pertamina- Medco Tomori Sulawesi, penghasilan para nelayan yang biasanya 15 kg ikan per hari turun drastis menjadi 5 kg per hari.

"Terkadang terpaksa pulang dengan tangan hampa karena berkurangnya jumlah dan jenis ikan," ucapnya. Himpitan yang dialami nelayan ini ditambah lagi larangan untuk mendekati terumbu karang yang merupakan sumber penghasilan mereka selama ini.

Berdasarkan perhitungan lembaga Yayasan Tanah Merdeka Palu, kerugian para nelayan di ketiga desa (Baturube, Kolo Bawah dan Pandauke) yang terkena dampak penimbunan Pulau Tiaka sebanyak 16,425 milyar per tahun.
Dengan perhitungan jumlah nelayan di ketiga desa itu ada 300 orang, sedangkan kerugian setiap hari sekitar 10 kg ikan, sementara satu kg ikan dijual kepada pedagang penampung ikan setinggi Rp 15 ribu untuk dijual ke pasar Luwuk (ibukota Kabupaten Banggara) setinggi Rp 17 ribu per kg, maka kerugian selama setahun = 365 (hari) x 300 (nelayan) x 10 (penuruan tangkapan) x Rp 15 ribu = Rp 16,425 miliar.

"Penghidupan masyarakat telah terenggut oleh perusahaan. Ini adalah salah satu contoh buruk nyata dari usaha tambang dan migas merebut ruang hidup warga. Kami telah memperingatkan perusahaan sejak tahun 2002. Perusahaan harus bertanggung jawab penuh hilangnya akses rakyat terhadap sumber penghidupan. Pimpinan perusahaan Medco Tomori harus diadili atas hilangnya nyawa rakyat," ujar Pius Ginting.

http://regional.kompas.com/read/2011/08/25/13575662/Bukti.Buruknya.Keberpihakan.pada.Warga.

Kamis, 25 Agustus 2011

PERNYATAAN SIKAP Komite Aksi Bersama untuk Rakyat Tiaka


= WALHI, PARTAI PEMBEBASAN RAKYAT, KPO-PRP, SBTPI, FBLP, PPBI, PEMBEBASAN, KSN, PEREMPUAN MAHARDHIKA, PPRM = 

“Usut Tuntas Pembunuhan Rakyat Tiaka dan Berikan Hak Pengelolaan Sumber Daya Alam Pada Rakyat Bukan Pada Pemodal”

Kekerasan masih menjadi senjata utama pemerintahan SBY-Boediono dalam menjawab tuntutan rakyat.

Kolaborasi antara perusahaan-perusahaan super profit dengan institusi negara (eksekutif, aparat, pemerintah, dll) berlangsung begitu harmonis dalam memberikan pengamanan ekstra untuk kelangsungan eksploitasi kekayaan alam. Arogansi aparat keamanan di Blok Tiaka Kab. Morowali menunjukkan bahwa perusahaan yang sedang mengeksploitasi sumber daya alam (berikut manusianya) menggunakan intitusi kekerasan negara untuk mengamankan perusahaan dari pergolakan rakyat yang lambat laun menyadari bahwa mereka (perusahaan-perusahaan tersebut—koorporasi dan negara) merupakan sumber dari kesengsaraan mereka. Kekerasan militer terhadap rakyatnya sudah terlalu sering terjadi. Insiden di Kab. Morowali merupakan rangkaian panjang kejahatan aparat kemanan yang akan terus ada.

Pemerintahan yang mekanistik dan represif sampai saat ini masih terwariskan dengan baik sejak orba tumbang. Negara makin menjadi kolaborator yang kepentingannya sangat sesuai dengan keputusan modal/investasi. Sedangkan, penguasa sendiri yang mengklaim kekuasaannya demi kepentingan bangsa makin tak bisa dibedakan dengan pemilik perusahaan itu sendiri.

Pergerakan ratusan warga yang dimulai pada 20 Agustus 2011 bertujuan untuk menuntut pemenuhan hak-hak rakyat sejak perusahaan PT Medco mengolah dana Commodity Development (CD), Pemberdayaan Tenaga Kerja Lokal dan Dana Pendidikan. Perusahaan yang telah menjanjikan beberapa fasilitas umum (sejak 2008 silam) tersebut (termasuk penyediaan listrik) tidak pernah merealisasikannya. Sementara, Pihak PT. Pertamina (selaku operator) dan PT. Medco E&P Tomori Sulawesi (selaku kontraktor) pun tidak pernah menemui warga yang sedang menuntut demi kesejahteraannya. Padahal, kerjasama eksploitasi antara PT. Pertamina dan PT. Medco (anak perusahaan PT. Medco Energi International Tbk) di lapangan minyak Tiaka lepas pantai Teluk Tolo, Sulawesi Tengah tersebut telah memproduksi 3,8 juta barel minyak mentah sejak beroperasi bulan Juli 2005 lalu.

Sebagai masyarakat yang menggantungkan sumber kehidupan dari hasil laut dan sejak PT. Medco beroperasi, masyarakat nelayan telah mengalami kesulitan karena laju geraknya terbatas oleh areal penambangan minyak. Ini pula salah satu penyebab nelayan tidak beranjak dari kemiskinan. Padahal, Mahkama Konstitusi juga telah memutuskan bahwa negara harus memenuhi dan menjamin hak-hak konstitusional nelayan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, yakni (1) hak untuk melintas (akses melaut); (2) hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat; dan (3) hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan pesisir berdasarkan tradisi dan kearifan lokal yang telah dijalani secara turun-temurun. Bersama dengan penegasan hak-hak konstitusional nelayan itulah, Mahkama Konstitusi membatalkan HP-3 (Hak Pengusaha Perairan Pesisir) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur sebelumnya di dalam UU nomor 27 tahun 2007.

Rakyat/manusia, yang saat ini telah berhasil diorganisasikan secara sosial dalam hubungan produksi kapitalis, semakin rendah daya tawarnya jika mereka (seluruh pekerja yang menopang hidupnya kapitalisme) tidak memberikan perlawanan untuk menghancurkan lajunya proses produksi penindasan tersebut. Maka, pengorganisiran perlawanan seluruh pekerja menjadi keharusan untuk menjawab persoalan bagaimana menghentikan dominasi kekuasaan modal dan negara yang merugikan rakyat banyak. Dalam hal ini, Kami dari Komite Aksi Bersama untuk Solidaritas Tiaka sangat memberikan apresisi positif terhadap perlawanan gerakan rakyat di Kab. Morowali (Sulawesi Tengah)dengan memberikan dukungan penuh secara politik. Dan kami meyakini bahwa, perjuangan rakyat di Kab. Morowali yang sedang menuntut PT. Medco, harus terus-menerus menggugat apa yang menjadi dasar dari penindasan rakyat tersebut, termasuk juga menuntut (secara politik) tanggung jawab kekuasaan negara atas kesejahteraan dan tindak kekerasan yang terjadi. Selain itu, solidaritas antar gerakan rakyat dalam makna meluaskan pengaruh perlawanan terhadap kekuatan modal dan negara yang menindas, akan menjadi penting sebagai penyatuan kekuatan secara politik untuk mengambil-alih kekuasaan negara di tangan rakyat.

Kebutuhan prinsip kemandirian politik di tengah-tengah situasi bahwa: sejak runtuhnya feodalisme, elite politik kita telah kehilangan kapasitas untuk melawan kekuatan penjajah modal sehingga membuat kepentingan kapitalis dalam negeri (elit politik) terhadap ‘nasionalisme’ sangat minim, apalagi jaka nasionalismenya berwujud menjadi program Nasionalisasi Industri, Pembangunan (Industrialisasi) Nasional yang tangguh & benar-benar bebas dari dominasi mekanisme (aturan main) ekonomi kapitalis-neoliberal, penghapusan utang, dll. Oleh karena itu, tidak mungkin pula menyandarkan amanat perubahan kepada elite dan partai politik yang saat ini ada. Maka, rakyat haruslah memilih perlawanan politiknya sendiri menjadi alternatif dan mandiri, termasuk juga mandiri dari kekuatan-kekuatan politik lama. Maka dalam aksi solidaritas kami saat ini, kami menungutuk keras tindakan tidak semena-mena atas penembakan olah aparat Kepolisian terhadap warga yang mengakibatkan 2 orang tewas dan menangkap 22 orang termasuk 5 orang yang tertembak dan 17 orang warga yang belum ada kejelasan keberadaannya. Kamipun mendesak dan menuntut segera :

  1. POLRI untuk mebebaskan seluruh warga yang ditahan
  2. Memberikan pengobatan secepatnya terhadap korban yang tertembak dan luka-luka dibawah perlindungan tanpa intimidasi
  3. POLRI menjelaskan 17 warga yang belum dikatahui keberadaannya
  4. Menindak aparat pelaku penembakan dan komandan lapangan
  5. Menuntut mundur kapolres Morowali
  6. Meminta Komnas HAM untuk mengusut tuntas tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat
  7. Menuntut diberhentikannya operasi PT. Medco sampai dengan adanya kesepakatan baru dengan warga
  8. Pengelolaan sumber daya alam oleh rakyat

Jakarta , 25 Agustus 2011
Komite Aksi Bersama untuk Solidaritas Tiaka

Perahu Jolor Diberondong Tembakan

MOROWALI, MERCUSUAR - Sejumlah warga yang terlibat dalam aksi unjuk rasa yang berujung bentrokan di anjungan pengeboran minyak JOB Pertamina-Medco di Tiaka, Kabupaten Morowali, membantah telah melakukan menyanderaan terhadap anggota polisi dan TNI. 

Warga Desa Kolo Bawah Kecamatan Mamosalato, malah balik menuding polisi bertindak brutal, membrondongkan tembakan ke salah satu perahu jolor yang mereka gunakan. Akibatnya, dua warga tewas. Sedangkan empat lainnya terluka. 

Dua warga yang selamat dalam peristiwa penembakan di perahu jolor, Senin sore (22/8), mengaku seusai terjadi pembakaran terhadap fasilitas di anjungan pengeboran minyak, warga berusaha meninggalkan anjungan dengan menggunakan sejumlah perahu jolor, karena kuatir akan terjadi ledakan di anjungan pengeboran minyak. 

Saat itulah dua anggota polisi dan satu anggota TNI, termasuk Kapolsek Soyo Jaya, Aiptu Supoyo Gampang, berusaha turun dari anjungan pengeboran minyak, dan meminta untuk ikut di kapal milik warga yang berunjuk rasa. Di tengah perjalanan menuju Desa Kolo Bawah, anggota TNI bernama Masani pindah ke kapal jolor lainnya. Sedangkan anggota polisi masih di kapal tersebut. 

Salah satu saksi mata, pria berinisial Rm (23) menyatakan, saat itu beberapa warga yang ada di kapal nelayan yang mereka tumpangi, berusaha menolak karena takut aparat polisi justru akan melakukan tindakan yang membahayakan mereka di atas perahu jolor itu. 

“Awalnya kami takut karena mereka bersenjata. Tapi pak polisi itu sudah memohon minta tolong agar dia diikutkan naik ke kapal kami karena takut akan terjadi ledakan. Dia yang menawarkan agar senjatanya dipegang warga, tapi pelurunya dia simpan,” ujar Rm saat ditemui di kediamannya di Desa Kolo Bawah, Rabu (24/8). 

Sekitar pukul 15.00 Wita, perahu jolor yang berisi 20 warga dan dua anggota polisi serta seorang anggota TNI itu pun, meninggalkan lokasi anjungan pengeboran minyak. Menurut Rm, saat di tengah laut antara anjungan pengeboran dengan daratan Desa Kolo Bawah, perahun jolor tersebut kehabisan bahan bakar. Mereka pun meminta agar warga lainnya menyuplai bahan bakar dari Desa Kolo Bawah. Namun, justru mereka mendapat suplay bahan bakar dari pihak perusahaan. 

Masih menurut pengakuan warga, kapal cepat “LION” milik perusahaan minyak pun mendekati perahu jolor mereka untuk menyerahkan dua jerigen bahan bakar. Saat itu ada beberapa anggota Brimob bersenjata di atas kapal Lion. Saat bahan bakar diserahkan, dua anggota polisi dan petugas keamanan perusahaan langsung pindah ke kapal Lion.

“Tiba-tiba saya dengar suara tembakan dari arah kapal perusahaan. Banyak kali itu tembakan. Saat itu posisi saya mau mengisi BBM di belakang. Saya langsung bersembunyi di palka kapal yang tertutup lantai. Sedangkan Mt juga ikut bersembunyi. Kami berdua selamat,” kata Rm dengan ekspresi wajah trauma. 
Ia menambahkan, saat rentetan suara tembakan berhenti, salah seorang warga berteriak menyatakan Marten Datu Adam tewas bersimbah darah. Sedangkan warga lainnya terdengar merintih kesakitan karena luka tembak. Dalam beberapa saat, perahu jolor yang mereka gunakan bergerak, ditarik oleh kapal Lion menjauh dari wilayah daratan. 

“Nanti sudah malam, dan sudah sunyi baru saya dengan Mt keluar dari kolong palka. Kami pun diselamatkan warga yang lain. Sementara teman-teman yang lain sudah tidak ada. Kami dapati hanya pakaian penuh darah,” ujar Rm. 

Pantauan Mercusuar di pantai Desa Kolo Bawah, Rabu siang, pada dinding sisi kiri perahu jolor yang ditembaki, banyak terdapat lubang-lubang bekas peluru. Sementara pakaian yang bersimbah darah masih tergeletak di lantai sisi belakang kapal. Di dekat tumpukan pakaian itu, ditemukan selembar kartu identitas karyawan JOB Pertamina-Medco diatas darah yang mengental. 

Sedangkan di dasar lantai perahu jolor bagian tengah dan depan, terlihat genangan air bercampur darah kental. Bau amis darah menyengat dalam perahu jolor berwarna putih merah itu. 
Sebelumnya, Kapolda Sulteng Brigjen Dewa Parsana menyatakan telah terjadi penyanderaan terhadap dua anggota polisi dan satu anggota TNI saat penyerangan di anjungan pengeboran minyak di Tiaka. 
Polisi pun melakukan operasi penyelamatan. Dalam operasi itu, polisi menembak mati dua warga pelaku penyerangan, yakni Marten Datu Adam (31) dan Yurifin (21). Sedangkan empat warga lainnya terluka di bagian kaki dan lengan. 

“Mereka mengusai senjata milik anggota dan menyandera dua petugas polisi dan satu anggota TNI. Tindakan aparat sudah sesuai prosedur tetap. Jadi polisi tidak bertindak brutal,” kata Dewa Parsana. ***

http://www.harianmercusuar.com/?vwdtl=ya&pid=15415&kid=all

Rabu, 24 Agustus 2011

pernyataan sikap Sarekat Hijau Indonesia atas penembakan terhadap warga Kolo Bawah Morowali Sulteng

Pernyataan Sikap SHI 
Atas Penembakan yang Dilakukan oleh Aparat Kepolisian
Terhadap Warga Desa Kolo Bawah Kecamatan Mamosalato Morowali Sulteng


Gugatan terhadap makna kemerdekaan bangsa ini nampaknya beralasan kuat. Hari kemerdekaan baru saja diperingati, namun rakyat Indonesia belum juga terbebas dari kejahatan yang dilakukan oleh Negara dan korporasi. Praktek kekerasan terhadap rakyat terus berlangsung dan dilakukan oleh aparat Kepolisian untuk mengamankan investasi. Bahkan, kewajiban pemenuhan CSR perusahaan dilanggar dengan cara berdarah-darah.

Pada tanggal 22 Agustus 2011, masyarakat desa Kolo Bawah Kecamatan Mamosalato Morowali Sulawesi Tengah yang menuntut hak-haknya kepada Perusahaan minyak joint operating body yakni PT. Pertamina-PT. Medco E&P Tomori dihadapkan pada kebrutalan aparat Kepolisian. 2 orang tewas, 1 orang kritis, 5 orang luka-luka, 22 orang ditangkap dan 17 orang masih belum diketahui keberadaannya. 

Atas kebrutalan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian terhadap masyarakat desa Kolo Bawah Kecamatan Mamosalato Morowali Sulawesi Tengah, Sarekat Hijau Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Menuntut tanggungjawab Negara dan perusahaan atas kekerasan yang dialami oleh rakyat, dengan menindaktegas aparat Kepolisian yang melakukan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut, dan menuntut Kapolres Morowali mundur dari jabatannya.

2.  Membebaskan warga yang masih ditahan

3. Dihentikannya operasi Medco sampai adanya kesepakatan baru dengan warga

4. Mendesak aparatus Negara untuk menghentikan praktek pelanggaran HAM dalam pengelolaan sumber daya alam.



Jakarta, 24 Agustus 2011


Chairil Syah
Ketua Umum SHI

Pers Release - THR Medco Timah Panas


WALHI, KONTRAS, HUMA, YLBHI, AMAN, SPI, IHCS, IHI, KIARA, JATAM, KPA, SAWIT WATCH, ELSAM, IMPARSIAL, KPSHK, JKPP, LIMA, SOLIDARITAS PEREMPUAN, SHI, PILNET
 
Pers Release
THR Medco Timah Panas
 
Jakarta, 24/8. Kurang dari seminggu sebelum hari Raya Iedul Fitri, PT. Medco tidak penuhi janji terdahap masyarat Desa Kolo Bawah Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah namun dengan bantuan polisi, PT.Medco telah memberikan THR kepada warga berupa timah panas hingga menyebabkan dua orang warga meregang nyawa, satu orang keritis dan lima orang luka tembak. 22 orang termasuk lima orang tertembak saat ini ditahan oleh Polda dan 17 orang warga belum diketahui keberadaannya.
 
Berbeda dengan keterangan polisi yang disampaikan melalui media masa bahwa penembakan terjadi sebagai pembelaan diri karena masa melakukan tindakan anarkis. Pernyataan tersebut perlu diluruskan secara jujur karena menurut nara sumber kami dilapangan, apa yang disampaikan oleh Kapolda sama sekali tidak benar. Apa yang terjadi sesungguhnya merupakan titik puncak kekecaawan warga atas janji-janji yang disampaikan PT. Medco sejak tahun 2008. Padahal Medco telah melakukan penambangan minyak sejak tahun 2005. Namun fakta yang sesunguhnya tidak sedikitpun masyarakat desa sekitar mendapat manfaat atau bahkan kesejahteraan. Melainkan yang terjadi adalah tindakan ketidakadilan dan  kriminalisasi ketika warga menuntut hak mereka.
 
Merupakan suatu tindakan yang lazim dilakukan oleh masyarakat di manapun di Indonesia dalam menyampaikan pendapat khususnya terkait penagihan janji yang tidak terpenuhi atau karena mendapat perlakuan buruk dari pihak tertentu. Demikian pula hal yang sama dilakukan oleh warga Desa Kolo Bawah Kecamatan Mamosalato Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah terhadap Perusahaan minyak Joint Operating Body (JOB) yaitu PT. Pertamina - PT.Medco E&P Tomori yang beroperasi sejak tahun 2005
 
Masyarakat Desa Kolo Bawah telah menginginkan lama agar janji perusahaan sejak  2008 segera direalisasikan. Namun janji tersebut tinggal janji hingga jatuhnya dua korban jiwa. Tanpa harus berjanji sekalipun, perusahaan sesungguhnya berkewajiban menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam UU No.40 tahun 2007. Tanggung jawab sosial ini bukan dijalankan dengan sukarela melainkan wajib, sebagaimana telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 15/4/2007.
 
Apa yang dimintakan oleh warga Desa Kolo Bawah tidaklah berlebihan bila mengacu kepada undang-undang dimaksud. Dan justeru menjadi pertanyaan besar jika perusahaan sekelas Medco tidak menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana pula diamanatkan oleh UU No.40/2007. Kami sangat prihatin dan mengecam keras kondisi dan praktik demikian, karena dengan dikurasnya minyak di Bumi Sulawesi Tengah harusnya membawa kesejahteraan kepada warga sekitar sebagaimana pula diamanatkan oleh UUD 1945. Kenyataan malah berbicara lain, menepati janjipun tidak mampu, logikanya mana mungkin rakyat akan sejahtera.
 
Sebagai masyarakat yang menggantungkan sumber kehidupan dari hasil laut dan sejak PT. Medco beroperasi, masyarakat nelayan telah mengalami kesulitan karena laju geraknya terbatas oleh areal penambangan minyak. Ini pula salah satu penyebab nelayan tidak beranjak dari kemiskinan. Padahal, Mahkamah Konstitusi juga telah memutuskan bahwa negara harus memenuhi dan menjamin hak-hak konstitusional nelayan sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, yakni (1) hak untuk melintas (akses melaut); (2) hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat; dan (3) hak untuk mengelola sumber daya kelautan dan pesisir berdasarkan tradisi dan kearifan lokal yang telah dijalani secara turun-temurun. Bersama dengan penegasan hak-hak konstitusional nelayan itulah, Mahkamah Konstitusi membatalkan HP-3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur sebelumnya di dalam UU Nomor 27 Tahun 2007.

Menjadi pertanyaan bersama kami pula mengapa pihak kepolisian (Brimob) selalu dengan gampang menembaki warga dan sungguh heran karena aparat melakukan pengejaran dan penembakan ditengah laut disaat masa pulang menuju kampung pasca aksi 22/8. Dalam insiden berdarah itu, Sdr. Marten meninggal saat dirujuk kerumah sakit dan menyusul Yuripin. Saat ini pula Andri Muhamad dalam posisi kritis setelah dada kanannya tertembak, dan masih terdapat lima orang lagi yang mengalami luka tembak.
 
Keberutalan ini sungguh menyimpang dari ajaran-ajaran Pancasila dan bangsa yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Kekerasan semacam ini sepertinya sudah lumrah dilakukan oleh pihak Kepolisian dan tanpa merasa berdosa, karenanya pada kesempatan ini kami mengutuk keras tindakan sewenang-wenang ini. Kamipun mendesak dan menuntut segara;
 
1.      Meminta Komnas HAM melakukan investigasi tindak pelanggaran HAM dengan melibatkan parapihak dan organisasi masyarakat sipil.
2.      Meminta Kapolri untuk melakukan pengusutan tentang dugaan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Polres Morowali dan Polda Sulawesi Tengah. Hal ini penting dilakukan mengingat informasi yang kami miliki berbeda dengan keterangan yang telah disampaikan oleh kepolisian di Morowali dan Palu.
3.      Menuntut diberhentikannya operasi Medco sampai dengan adanya kesepakatan baru dengan warga
4.      Mendesak POLRI untuk membebaskan seluruh warga yang ditahan
5.      Memberikan pengobatan secepatnya terhadap korban tertembak dan luka-luka dibawah perlindungan tanpa intimidasi
6.      POLRI menjelaskan 17 warga yang belum diketahui keberadaannya
7.      Menuntut mundur Kapolres Morowali
 
 
Demikian kami nyatakan agar menjadi perhatian penting seluruh aparatur negara khususnya Polri agar berhenti melakukan tindak pelanggaran HAM melainkan menjujung dan melaksanakan pemenuham Hak Asasi Manusia itu sendiri.
 
(Selesai).
 
 
Kontak:
Berry Nahdian Forqan (WALHI) : 0812 5110979
Sinung (Kontras)                : 0856 191 4400
Mukri (WALHI)                   : 0812 882 44445
Hendri Saragih (SPI)          : 0811 655668
Indriaswati DS (ELSAM)    : 081380305728
Bawor (HuMa)                    : 0812 57610762
Elisabeth (AMAN)               : 0813 45455484
Mina Susana S (AMAN)      : 0813 15119414
Gunawan (IHCS)                 : 0815 84745469
Riza D (KIARA)                    : 0818 773515
Slamet (IHI)                         : 0815 84197713
Nego (Sawit Watch)            : 0815 9416297
Munir (YLBHI)                    : 0813 80855841
DD.Shineba (KPA)               : 0813 68633608
Begi (JATAM)                      : 0852 69135520
Rusdi (Imparsial)                : 0811 177982
M.Djauhari (KPSHK)           : 0817 6986945
Dodo (JKPP)                        : 0813 60993020
Ray Rangkuti (LIMA)          : 0816 1440763
Aliza (SP)                             : 0818 129770
Lita (WALHI Sulteng)         : 0856 6480410
Khalisah Khalid                   : 0813 11187498
Wahyu (Pilnet)                    :085218664128

Kamis, 18 Agustus 2011

PT NHM Diduga Cemari Teluk Kao


THURSDAY, 18 AUGUST 2011 09:18 ARTHA SENNA, REPORTER GREEN RADIO
Tiga sungai di dekat lokasi tempat beroperasinya PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) yang beroperasi di Ternate, Maluklu Utara diduga tercemar limbah tambang milik perusahaan itu. Tiga sungai itu adalah Sambiki, Bora dan Tambobo yang bermuara ke Teluk Kao. Penyebab pencemaran karena pipa limbah terlepas dan ini ketiga kalinya peristiwa itu terjadi.
Menurut Ismet Solaiman, Direktur WALHI Maluku Utara, belum diketahui secara jelas apakah tercemar atau tidak.
“Namun ada paparan limbah yang berlebihan yang keluar dari pipa tersebut, kami masih menanti surat dari Kementerian Lingkungan Hidup yang telah melakukan sampling air tersebut, hasilnya belum didapatkan. Pipa limbah NHM yang terlepas 2 Juni lalu dan ini merupakan ketiga kalinya. Jelas kami mengkhawatirkan mengalami krisis air bersih, karena sudah ada peringatan dari BLH setempat agar warga tidak mengkonsumsi air sekitar tambang. Fakta lapangan lain yang ditemukan, warga beberapa desa, seperti Tambobo, Beringin terkena penyakit gatal-gatal, ini juga sudah dilaporkan ke dinas daerah terkait,” kata Ismet.
Sejak 2004, kata Ismet, warga sudah mengalami kesulitan air bersih dari sungai-sungai tersebut namun belum ada respons dari pemerintah setempat. “Ada kecurigaan yang sangat tinggi bahwa NHM tidak bisa menjamin bahwa pipa ini bisa terlepas lagi. Posisi pemerintah lokal sangat lemah di mata perusahaan ini karena faktanya ada sesuatu yg tidak beres, karena ini sudah ketiga kalinya dan tidak ada tanggapan sama sekali dari pemerintah,” tambah Ismet.
Akibat dugaan pencemaran, Forum Pemerhati Masyarakat Lingkar Tambang bahkan telah mengeluarkan rekomendasi larangan mengkonsumsi ikan yang berasal dari Teluk Kao ke seluruh warga Ternate, Maluku Utara. Pasalnya, ikan-ikan Teluk Kao diduga sudah terindikasi mengandung senyawa kimia berbahaya, sianida.

Pejabat KLH Berkelit Soal Pencemaran NHM


TUESDAY, 16 AUGUST 2011 11:47 ERWIN DJAMILGO, REPORTER RADIO GEMA HIKMAH TERNATE, MALUKU UTARA
KBR68H - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menuding pejabat Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)  saling lempar tanggung jawab terkait hasil uji sampel tanah dan air sungai di sekitar lokasi PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) Maluku Utara. Tanah dan air sungai di lokasi itu diduga telah tercemar limbah tambang akibat bocornya pipa pembuangan perusahaan tersebut.
Direktur WALHI Maluku Utara, Ismet Solaiman mengatakan, hingga saat ini belum ada pejabat kementerian yang mau menginformasikan hasil uji laboratorium itu.
“Jadi lempar dari deputi II, deputi II lempar ke deputi IV, deputi IV kemudian lempar lagi di asistennya yang namanya Pak Ridwan yang pada Juni kemarin datang ke Ternate mengambil samplingnya. Nah, mentok di Pak Ridwan tidak ada konfirmasi dari beliau, jadi para deputi lepas tangan dengan alasan belum mendapatkan hasilnya begitu saja alasannya,” keluh Ismet.
Ia menambahkan, Walhi telah menyurati KLH untuk meminta hasil sampling, namun tidak ada tanggapan. Walhi sangat menyesalkan sikap kementerian yang lamban dalam mempublikasikan hasil uji lab. LSM lingkungan itu juga menilai pemerintah daerah telah bersikap acuh terhadap kerusakan lingkungan maupun kesehatan masyarakat  yang ada di lokasi tambang.

NHM Disesak Sediakan Air Bersih Bagi Warga


SATURDAY, 02 JULY 2011 10:27 ERWIN DJAMILGO, REPORTER RADIO GEMA HIKMAH TERNATE, MALUKU UTARA
KBR68H - Pemda dan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Maluku Utara mendesak perusahaan tambang PT Nusa Halmahera Mineral (NHM) menyiapkan sumber air alternatif untuk masyarakat yang ada di sekitar daerah pertambangan. Pasalnya, warga mulai kesulitan mendapatkan air bersih.
Kepala BLH Maluku Utara, Naser Thaib mengatakan, Selain menyurati NHM, pemda juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk menekan perusahan tersebut menyiapkan fasilitas air bersih. Selama ini warga mengkonsumsi air Sungai Tabobo yang yang tercemar limbah perusahaan itu.
“Masyarakat harus dibuat semacam PDAM, itu PT NHM punya dana besar, di dusun-dusun lingkar tambang kalau bisa harus dibuat PDAM, baru dialirkan ke masyarakat supaya jangan sampai terulang lagi, kalau bisa PT NHM sudah harus bikin dan ambil sumber air dari Kecamatan Malifut yang jauh dari sungai sungai yang diduga tercemar,” tegas Naser Thaib.
Ia menambahkan, selain menyiapkan air bersih, NHM didesak untuk memeriksa kesehatan masyarakat yang sudah mulai terjangkit penyakit akibat mengkonsumsi air dari Sungai Tabobo yang ada di Kecamatan Malifut, Kabupaten Halmahera Utara.
http://www.greenradio.fm/news/latest/6244-nhm-disesak-sediakan-air-bersih-bagi-warga-

Selasa, 09 Agustus 2011

Kondisi Warga Lingkar Tambang Mengkhawatirkan

Malut Post – Selasa, 9 Agustus 2011 

TOBELO – Kondisi lingkungan daerah lingkar tambang PT. NHM dianggap sudah membahayakan. Pasalnya lingkungan yang diduga sudah tercemar sangat membahayakan masyarakat di lingkar tambang ini. 

Komisi III DPRD Halmahera Utara berpendapat jika telah ada penelitian ilmiah yang bertanggung jawab, mereka akan berupaya sekuatnya menggerakkan seluruh warga lingkar tambang menutup PT. NHM. 

“Kami sudah mendesak BLH melakukan penelitian. Apabila ada bukti kuat, PT. NHM harus di tutup,” jelas Ketua Komisi III DPRD, Satar H Samad pada Malut Post di kantor DPRD senin (8/8). Dia mengatakan, PT NHM selama ini tidak member keuntungan kepada Pemda dan warga lingkar tambang secara keseluruhan. Yang dirasakan hanya penderitaan yang justru lebih besar. “Masa hanya gara-gara uang satu atau dua milyar kita harus korbankan masyarakat. Itu tidak bias dan saya tegas menolak,” tandas Satar. 

Setelah dewan mengecek warga Balisosang yang menderita penyakit kulit berupa bisul dan benjolan di tubuh, dan hasil pemeriksaan dokter menyebutkan warga Balisosang positif terkontaminasi zat kimia berbahaya. “Dari pemeriksaan dokter mereka terkontaminasi zat kimia berbahaya. Penyakit bisul yang mereka derita juga bias menular. Ini berbahaya,” paparnya. 

Dia mengatakan, pencemaran lingkungan yang dilakukan PT.NHM benar-benar jadi perhatian Dewan. Menurutnya jika ada bukti ilmiah, maka PT.NHM harus segera di tutup. “saat ini memang sudah ada berbagai bukti pencemaran lingkungan, misalnya banyak ikan di Teluk Kao yang sudah habis, warga yang positif terkontaminasi zat kimia, Tercemarnya Sungai Kobok. Hanya saja dokumen ilmiahnya belum kami kantongi. 

Kami mendesak BLH sesegera mungkin menyelesaikan penelitian mereka. Jika ada bukti kuat, kami akan menggerakkan seluruh warga lingkar tambang menutup PT.NHM yang hanya menyengsarakan rakyat kami” paparnya.