SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Sabtu, 04 Januari 2014

Warga Mado Belajar Jurnalisme Komunitas





TERNATE - WALHI Maluku Utara mengadakan FGD bertema Jurnalisme komunitas dan metadata dalam perspektif pemanasan global, Sabtu (14/12) di Kelurahan Mado, kecamatan Pulau Hiri. Diskusi yang dilaksanakan di rumah sekretaris Kelurahan Mado ini diikuti oleh 42 peserta yang dihadiri oleh siswa SMP dan SMA, Mahasiswa, Pemuda, orangtua, serta Staf Kelurahan Mado.

Menurut pendamping lapangan WALHI Malut, Fahrudin A. Buamona, bahwa diskusi ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat bisa memahami proses membuat berita, sekaligus bagaimana menciptakan media alternatif.

Selain memberikan pemahaman terkait bagaimana proses membuat berita, dalam diskusi tersebut peserta juga diberikan pemahaman tentang pemanasan global dan dampaknya terhadap masyarakat, khususnya di pulau-pulau kecil.

Diskusi ini mendapat apresiasi penuh dari seluruh peserta, terlihat dari antusias mereka mengikuti setiap proses diskusi sampai selesai. Bahkan mereka meminta agar kegiatan seperti ini sesering mungkin diadakan di kampung, agar masyarakat pun tidak ketinggalan informasi.

“kami akhirnya paham kenapa air laut menjadi lebih tinggi sekarang. Juga musim yang tidak menentu, yang berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan.” Ungkap Amran Ali, ketua LPM Kelurahan Mado.

Abrasi Tingkat Kritis di Galo – Galo





DARUBA - Tanggul pemecah ombak di Desa Galo – Galo, Morotai Selatan yang berada di areal pekuburan sebagiannya runtuh. Imbasnya, dinding tanah kuburan setinggi dua meter di tepi daratan ikut amblas.

Jamal Pesa, salah seorang pemuda kampung mengatakan, bahwa peristiwa ini sudah terjadi sekitar dua bulan yang lalu. “Sudah hampir dua bulan kejadiannya,” ujar Jamal.

Saat di lokasi (30/11), lobang menganga mengakibatkan sebagian jasad yang telah menjadi rangka, mulai dari kepala hingga tulang iga tampak berada di luar.

“Peristiwa ini bukan kali pertama terjadi. Mulanya tepi daratan pada areal kuburan tersebut masih memanjang lima meter kedepan. Namun karena sering terkikis oleh ombak air laut akhirnya jadi seperti ini,” ungkap Jais, Ketua Komunitas Pencinta Pulau.

“Pernah lebih ekstrim dari yang ini. Ombak naik sampai permukaan kuburan, hingga beberapa jasad terangkat ke permukaan. Pagi harinya, masyarakat menemukan banyak tulang manusia berserakan.” Ungkapnya lagi.

Kepala Desa Galo Galo, Fuad Gafur saat dikonfirmasi mengatakan belum bisa melakukan perbaikan tanggul karena keterbatasan anggaran desa.

“Ya, kami akan upayakan bersama warga untuk memperbaiki kuburan yang rusak,” ucapnya. “Untuk tanggul, kami baru ajukan proposal untuk perbaikannya ke dinas PU. Ini masih menanti jawaban mereka,” ujarnya lagi.

Jika hal ini tidak segera ditangani oleh Pemerintah Morotai, maka bisa jadi areal pekuburan tua di Desa Galo-Galo akan lenyap di kikis abrasi. Butuh kebijakan dan tindakan segera oleh seluruh pihak yang berkompeten untuk mengatasi hal tersebut.

Jumat, 03 Januari 2014

Teluk Gane




TERNATE - Senja merapat membiaskan cakrawala merah dari ujung horizon. Perahu-perahu nelayan mulai mendendangkan irama di sepenggal teluk. Ada yang dari melaut, ada pula dari kebun. Mereka kembali ke perkampungan, dari ruang produktifitas harian.

Teluk Gane, atau lebih sering warga tempatan menyebutnya hol, masih padat ditumbuhi vegetasi mangrove. Tak hanya perahu bermesin yang melintas, beberapa perahu penuh muatan hasil kebun, tampak perlahan menyusuri tepian hol. Dendang dan canda tawa, merupakan kebiasan warga Gane Dalam saat pulang dari laut maupun kebun.

Tahun 1962, daerah Hol Gane Dalam pernah menjadi pangkalan angkatan laut Indonesia dalam ekspansi ke Irian Barat. Beberapa orang saksi hidup zaman itu, seperti Pak Salmin Sahiba dan Pak Wahab, masih bisa bertutur dengan runtut kisahnya.

“Saat itu daerah hol dipenuhi dengan 58 buah kapal pemburu, serta kapal logistik dan kapal minyak berjumlah 64 armada. Soeharto pun ada, Ia masih berpangkat letkol. Kalau tak salah, Ia di Kapal Perang Multatuli,” tutur Pak Salmin.

“Mungkin lokasi hol strategis untuk pasukan Indonesia saat itu, karena sangat rimbun, dan teduh dari gelombang laut. Juga dekat dengan Papua Barat. Warga Gane juga bersumpah menjaga kerahasiaan armada laut republik,” sambung Pak Wahab.

“Kami cukup dekat dengan para tentara. Kalau mau ke kebun, kami sering dipanggil mampir untuk makan. Hingga pernah, suatu waktu saat berada di kapal, sirine perang berbunyi, kami kalut, seorang Perwira memerintahkan untuk turun ke Palka. Ternyata ada info, sebuah pesawat sementara terbang mendekati lokasi hol,” tutur Pak Salim.

“Di kampung, warga juga menjadi panik mendengar suara sirine. Ternyata, pesawat yang mendekat adalah milik Indonesia. Semua orang lega,” ungkap Pak Wahab. Kepingan sejarah masa silam itu, senantiasa membekas dalam ingatan mereka berdua.

Kini, warga Gane tak lagi berjuang membantu tentara, tapi mereka berjuang mempertahankan Hol Gane dan wilayah perkebunan mereka dari ekspansi perkebunan sawit milik PT. Gane Mandiri Membangun. Pada tanggal 2 juni 2013, sebanyak 17 orang warga Gane disergap, ditangkap layaknya penjahat oleh aparat kepolisian Halmahera Selatan.

Dari Hol Gane, mereka diangkut ke Pulau Bacan, dengan tuduhan menghalangi investasi dan mencuri kayu milik perusahaan. Dalam persidangan kemudian, ternyata tuduhan tersebut tidak terbukti. Warga Gane dinyatakan bebas murni. Kini kasusnya masih di Mahkamah Agung, karena Jaksa mengajukan kasasi.

Teluk Gane yang biasa disebut hol oleh warga tempatan, sepasang kakek dan nenek terlihat santai mendayung perahunya mengarah pulang. Dan, senjapun masih merapat membiaskan cakrawala merah di ujung horizon.

Puing Reruntuhan Benteng Nassau di Pulau Moti




TERNATE - Kaki-kaki yang sibuk berlalu lalang, dan teriakan jajanan kaum Ibu, ramai berlangsung di atas jembatan kayu Pelabuhan Moti Kota. Hampir tiap pagi, suasana ini kan didapati, kala transportasi laut berupa speed boat, atau motor kayu merapat.

Di sisi utara, tak jauh dari keramaian itu, puing-puing beton terserak di tepian pantai, bahkan sebagiannya sudah terendam laut. Bisu dalam hempasan ombak, namun menyimpan sejarah masa silam negeri ini, yang penuh penindasan.

“Dulunya, puing – puing ini merupakan tembok kokoh, benteng yang berdiri tegar di kaki Gunung Tuanane. Kami sering menyebutnya SEPERA, singkatan dari semangat perjuangan rakyat. Inilah banteng Nassau kedua, setelah yang ada di Pulau Banda – Maluku,” tutur Nahrawi Jalal, seorang pemuda Pulau Moti sembari duduk di atas puing yang tersisa.

Menurut catatan sejarah, pertengahan abad ke-17, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mengalami kegalauan akibat terjadi kelebihan produksi cengkeh, yang menyebabkan harganya menjadi turun di pasar Eropa. VOC kemudian menerapkan kebijakan extirpatie, yakni pemusnahan pohon pala dan cengkeh milik rakyat Maluku Utara. Untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan tersebut, maka dilakukanlah pelayaran bersama antara VOC dan Kesultanan Ternate, yang kemudian dikenal dengan nama hongitotchen.

Kebijakan extirpatie yang ditandatangani oleh Sultan Mandar Syah di dalam Benteng Orange pada 31 januari 1652, menyebabkan dua pulau penghasil cengkeh terbesar di Maluku Utara zaman itu, yakni Pulau Makian dan Pulau Moti terkena imbasnya. Cengkeh dan pala, yang menjadi tanaman utama warga, dibabat habis hingga ke akar-akarnya.

Kini, artefak sejarah yang menjadi saksi bisu penggalan kisah penindasan kolonial masa silam itu, tak lagi kokoh berdiri. Terbiar hancur, dikikis abrasi dan usang dimakan waktu. Puing-puing itu hanya disapa ombak, dan riuh rendah suasana pagi di atas jembatan kayu, dermaga Pulau Moti.

Di Pulau Hiri, Pak Lurah Mado Bercita-cita Membangun Perpustakaan




TERNATE - Pulau Hiri terletak di arah utara Pulau Ternate, tak terlampau jauh jaraknya. Waktu tempuh kurang lebih 20 menit, jika menggunakan motor kayu – sebutan untuk alat transportasi yang biasa digunakan masyarakat setempat.

Meski jaraknya cukup dekat dengan Pulau Ternate yang menjadi sentra aktivitas ekonomi di Maluku Utara, kehidupannya masih alami, belum terlalu banyak pengaruh dinamika kota di pulau ini. Warganya ramah, layaknya kehidupan masyarakat pesisir kebanyakan yang penuh persahabatan.

Terdapat enam kelurahan di Pulau Hiri, yang masuk Kecamatan Pulau Hiri, wilayah administrasi Kota Ternate. Salah satunya adalah Kelurahan Mado, yang menjadi lokasi aktivitas WALHI Maluku Utara menjalankan program belajar bersama komunitas.

Lurahnya bernama Abdul Kadir Rakib, biasa disapa Pak Lurah. Lelaki 40-an ini, sebelum menjadi pegawai negeri, sempat melakoni juragan kapal laut di Pulau Sanana, juga pernah menjadi pedagang pakaian di Papua.

“Tahun 1986, saya tamat SMA langsung ke Papua berdagang pakaian di Fak-Fak. Setelah itu lanjut merantau ke Ambon, dan akhirnya menjadi juragan kapal di Pulau Sanana. Nanti pertengahan tahun 1990 baru masuk PNS, dan tahun 2010 dipercayakan menjadi Lurah di Mado ini,” kisahnya.

Selain menjadi lurah, Ia juga membuka warung makan, yang letaknya berhadapan dengan terminal dermaga Pulau Hiri. Selain makanan, terdapat juga barang dagangan lain di warung tersebut yang dijualnya. Warung tersebut dipercayakan kepada sepupunya untuk mengelola.

“Yah, minimal warga tidak lagi mesti ke Pulau Ternate untuk membeli kebutuhan rumah tangga,” ujarnya.

Suatu sore, di awal oktober 2013, Pak Lurah menyampaikan cita-citanya terkait pembangunan sumberdaya manusia di Pulau Hiri. Ia ingin membangun perpustakaan, agar warga di Pulau Hiri bisa bertambah wawasan dan pengetahuannya.

“Saya akan bangun dua bangunan di samping kantor lurah. Satu bangunan akan saya sekat dan bikin ruang perpustakaan. Kalau sudah jadi, akan saya buat program wajib baca. Setiap minggu, masyarakat wajib membaca buku satu kali. Saat ini kami sudah punya 500 judul buku, masing-masing dua eksemplar, bantuan dari pemerintah,” ungkapnya.

Di tengah krisis air bersih di Pulau Hiri yang tak pernah tuntas penyelesaiannya, ada spirit membangun kecerdasan dari seorang lurah di pulau kecil.*

Petani dan Nelayan Gane Belajar Bersama Jurnalisme Komunitas




TERNATE - Disela-sela kesibukan Warga Gane Dalam dan Sekely melaut juga berkebun, mereka masih menyempatkan diri mengikuti proses belajar bersama tentang Jurnalisme Komunitas dan Metadata (JKM), yang diselenggarakan oleh WALHI Maluku Utara. Kegiatan yang dikemas dalam bentuk diskusi terfokus ini, dihadiri oleh 20 orang perwakilan dari tiap desa yang ada.

Desa Gane terletak di Kaki Pulau Halmahera bagian selatan, merupakan wilayah administrasi Kabupaten Halmahera Selatan. Untuk sampai ke perkampungan ini, mesti menumpang kapal laut dari Ternate menuju Pulau Bacan, kemudian bermalam, dan esoknya baru dilanjutkan ke Gane. Waktu tempuhnya lebih kurang 20 jam. Ada juga alternative lain, yakni setelah tiba di Bacan bisa melanjutkan perjalan dengan menggunakan speed boat, waktu tempuhnya sekitar 12 jam.

Sore itu (28/11), warga terlihat serius menyimak paparan materi dari Faisal Ratuella yang mewakili WALHI Maluku Utara, tentang dasar-dasar penulisan berita dengan konsep 5W + 1H. Selain itu, Faisal juga, menjabarkan tentang penyusunan metadata kampung, serta pemanasan global dan perubahan iklim.

Oto Hi. Gani, salah seorang warga yang menyediakan rumahnya sebagai tempat kegiatan, mengatakan bahwa proses belajar bersama seperti ini sangat mereka butuhkan. Karena sejak tahun 2010, lahan perkebunan mereka dirampas oleh perusahaan sawit PT. Gane Mandiri Membangun, tapi tak ada respon dari pemerintah. Hal ini terjadi karena, mereka sangat jauh dari akses informasi dan transportasi, sehingga kejadian di kampung sulit diketahui oleh orang luar.

“Syukurlah ada kegiatan ini, kami jadi mengerti bagaimana menulis informasi kampung untuk dikabarkan ke luar, terutama tentang perampasan lahan-lahan perkebunana masyarakat oleh perusahaan sawit. Lebih untungnya juga, kami jadi paham kenapa waktu tanam dan waktu melaut jadi berubah, ternyata itu dampak dari pemanasan global,” ujar Bapak Oto Hi. Gani.

Kegiatan ini menurut Faisal Ratuella, merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan pendampingan lapangan yang dilakukan oleh WALHI Maluku Utara.

“Daerah Gane, atau kami lebih sering menyebutnya lima negeri, merupakan wilayah dampingan WALHI Maluku Utara sejak tahun 2012. Agenda Jurnalisme Komunitas dan Metadata ini, terselenggara atas dukungan kerjasama dengan The Samdhana Institute, yang berlangsung selama tiga bulan, sejak bulan Oktober kemarin. Targetnya, warga bisa mengabarkan suara kampung pulau, dari wilayah yang letaknya susah dijangkau dan jauh dari akses informasi di Maluku Utara,” jelas Ical, sapaan akrab Faisal Ratuella.

Proses belajar bersama sore itu berlangsung santai namun serius. Diakhir diskusi, warga menyepakati, membangun pusat informasi dan belajar bersama untuk penulisan kabar kampung pulau. Di luar, senja telah usai, seiring nelayan membawa pulang hasil tangkapannya.

Kaum Muda Pulau Moti Tertarik Belajar Jurnalisme Komunitas




TERNATE - Jurnalisme Komunitas dan Metadata (JKM), ternyata sangat direspon oleh kaum muda di Pulau Moti, salah satu wilayah kepulauan yang masuk dalam administrasi Kota Ternate. Pulau ini dapat dijangkau menggunakan speed boat, dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam tiga puluh menit dari Ternate.

Saat itu sore menjelang magrib, jumat (28/11), ketika keramaian di lapangan bola kaki telah usai, beberapa kaum muda terlihat bergegas menuju rumah mereka. Menurut Ramli yang adalah Ketua Pemuda di Kelurahan Moti Kota, para pemuda itu bergegas, karena mereka telah menyepakati, malam nanti akan mengikuti diskusi focus tentang JKM, yang akan difasilitasi oleh perwakilan dari WALHI Maluku Utara.

“Pemuda di Kelurahan ini telah bersepakat untuk lebih focus belajar menulis berita kampung. Selain itu, teman dari WALHI Maluku Utara juga akan menyampaikan tentang pemanasan global dan perubahan iklim. Bagi kami yang hidup di wilayah pulau, pengetahuan itu sangat penting diketahui,” tutur Ramli.

Proses belajar bersama dimulai pukul 20.00 WIT, di kediaman Ramli. Ada 22 orang pemuda yang terlibat. Rasman yang mewakili Walhi Maluku Utara, terlihat antusias memaparkan dasar-dasar penulisan berita, yang diselingi dengan paparan contoh dampak pemanasan global.

Di akhir sesi diskusi, beberapa peserta meminta Walhi Maluku Utara untuk tetap bisa memfasilitasi forum belajar bersama tentang JKM dan Pemanasan Global. Mereka juga menyepakati, tiap hari sabtu minggu, akan meluangkan waktu untuk terlibat dalam proses diskusi bersama.

Rasman dari Walhi Maluku Utara menyanggupi akan terus mengawal proses belajar bersama kaum muda di Pulau Moti.

“Iya, selain FGD seperti malam ini, sebelumnya juga kami telah melakukan pemutaran film tentang pemanasan global dan perubahan iklim. Menurut kami, sudah menjadi tugas bersama untuk terus menyampaikan dampak perubahan iklim ke seluruh masyarakat Maluku Utara, karena wilayah kita ini adalah kepulauan. Dibarengi dengan pelatihan menulis dan metadata, tentunya agar warga di Pulau Moti, bisa mengabarkan berita kampungnya sendiri,” terang Rasman.*