SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Selasa, 28 Juni 2011

Bagi Hasil Tak Imbang


Kompas selasa 12 april 2011
Sanggau, Kompas – Dalam 10 tahun terakhir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menerbitkan 64 izin usaha pertambangan skala besar. Namun, dana bagi hasil tambang yang diperoleh Sanggau hanya Rp 3,34 miliar, jauh lebih kecil dari pajak kendaraan bermotor yang mencapai Rp 10 miliar.

”Ini sangat ironis karena pemasukan lebih besar untuk Sanggau justru diperoleh dari pajak yang dipungut dari warganya sendiri, bukan dari kekayaan alam yang berlimpah di daerah ini,” kata Supardi, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sanggau, Selasa (12/4).
Bupati Sanggau Setiman H Sudin menegaskan, pola bagi hasil dari izin yang diterbitkan tahun 2000-2010, perlu ditinjau ulang. Sebab regulasi pertambangan terus menuai kontroversi. ”Pola bagi hasil pendapatan menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tidak berpihak pada daerah penghasil tambang,” kata Setiman.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyebutkan, perusahaan pemegang izin usaha pertambangan khusus operasi produksi hanya diharuskan membayar 4 persen dari keuntungan bersih sejak beroperasi kepada pemerintah pusat, dan 6 persen ke pemerintah daerah.
Namun, 6 persen yang dibayarkan untuk pemerintah daerah itu masih harus dibagi, dengan rincian 1 persen untuk pemerintah provinsi; 2,5 persen untuk kota/kabupaten penghasil; dan 2,5 persen untuk kota/kabupaten lain di provinsi yang sama.

Untuk itu, Setiman berharap persentase bagi hasil itu ditinjau ulang supaya pemasukan ke daerah jadi signifikan. Pemasukan yang memadai memungkinkan daerah membangun infrastruktur.
Namun, aspirasi Bupati Sanggau justru tidak disambut hangat oleh Gubernur Kalimantan Barat Cornelis. Gubernur malah mengingatkan, pola bagi hasil itu sudah ditentukan oleh undang-undang dan diatur oleh pemerintah pusat. ”Kalau minta peningkatan bagi hasil, undang-undangnya harus diubah dulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat,” tuturnya.

Cornelis menambahkan, persentase bagi hasil seperti yang sekarang ini dipakai sudah merujuk pada asas keadilan. ”Kalau daerah penghasil tambang lalu dapat porsi besar, bagaimana dengan daerah-daerah lain yang tidak memiliki deposit bahan tambang? Daerah lain yang tidak memiliki tambang juga harus dapat bagian,” ujar Cornelis.

Wilayah deposit pertambangan di Kabupaten Sanggau mencapai 411.995 hektar. Perizinan yang dikeluarkan selama ini mencakup bauksit, emas, bijih besi, dan zirkon.

Sementara itu, Direktur Walhi Maluku Utara, Ismed Soelaiman, kemarin, mengungkapan, 11 perusahaan pertambangan di Maluku Utara bermasalah. Selain bersengketa lahan dengan warga, juga karena berpotensi merusak lingkungan.

Walhi mencatat, sebelas perusahaan yang diduga bermasalah itu oleh adalah PT NHM, WBN, AT, GKM, ZH, HMK, GPS, EAM, Sid, MB, dan TMS.
Mereka menambang emas, nikel, dan mangan di beberapa kabupaten, seperti di Halmahera Utara, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula.

Manajer Komunikasi PT WBN, Olivier Beligon, mengatakan, tahap eksplorasi hingga prakonstruksi yang dilakukan sekarang telah memerhatikan lingkungan dan warga sekitar. Hal itu pula yang menjadi perhatiannya saat memulai tahap konstruksi tahun 2013 dan eksploitasi nikel tahun 2017.

Bupati Halmahera Tengah Al Yasin Ali, mengusulkan alih fungsi sekitar 3.000 hektar hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas di Pulau Gebe. Lahan itu disiapkan untuk 8 perusahaan tambang nikel.
Yasin menjamin alih fungsi lahan itu tidak mengabaikan aspek lingkungan. (AHA/APA)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar