SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Jumat, 03 Januari 2014

Transportasi Alternatif ke Pulau-Pulau Kecil di Bibir Pasifik


DARUBA - Ditengah mahalnya biaya transportasi laut menggunakan speedboat menuju pulau-pulau kecil di Morotai Selatan, khususnya Koloray dan Galo Galo, masih ada jenis sarana angkutan laut yang dapat dijangkau. Perahu penampung ikan dan perahu jenis Fiberglass yang biasa disebut “Body”.

Jika anda banyak uang tidak masalah untuk menggunakan speedboat yang harus dicarter untuk pergi pulang dengan tarif Rp. 500.000 hingga Rp. 1.000.000.

Bermula dari perahu penampung ikan milik juragan asal Desa Koloray yang rutin merapat di pesisir Daruba Pante, di sudut dermaga induk, belakang jembatan sandar speedboat. Lebar perahu sekira dua meter setengah dengan panjang 6 meter.
Dipagi hari pemilik dan awaknya akan menjual ikan di Ibu Kota Morotai, Daruba. Lalu membeli ‘es batu’ di satu warung makan terdekat yang kemudian diletakan dalam cool box.

Sudah lazim warga Koloray yang pergi dan kembali dari Daruba, menumpang perahu ini. Biasanya yang lebih dominan adalah kaum ibu sehabis belanja kebutuhan dapur atau stok kios. Gratis. Tidak ditarik biaya apapun.

“Mereka untung yang usaha kios di Koloray, sudah tidak keluarkan biaya transport…” Cerita “Om Man,” juragan perahu penampung.
Hal ini berlaku untuk siapa saja tidak terkecuali orang luar. Tinggal secuil pengertian dari penumpang. Itupun harus didesak secara serius agar niat memberi imbalan diterima.

Ketika semua keperluan beres, tuan perahu, mengajak lima orang perempuan paruh baya yang menggandeng barang bawaan untuk berangkat. Dalam pelayaran singkat itu terkadang para ibu bercanda dengan juragan dan satu awaknya yang bertugas sebagai juru kemudi.

“Aduh panas sampe! Lain kali pasang tenda sudah Man!” Begitu bunyi keluh salah satu ibu diikuti oleh yang lainnya, mengiyakan. “Kalau sudah pasang tenda berarti harus bayar.” Jawab Man cuek. Dari setiap obrolan mereka, selalu saja berakhir dengan tawa.

Setelah melewati dua tanjung yang terpisah dengan daratan besar Morotai di bagian selatan, pulau tujuan itu akhirnya tersingkap. Hanya 35 menit lamanya didorong oleh satu “mesin gantung 15 PK”, jembatan sandar yang memanjang ke laut itu pun menyambut.

Berbeda dengan perahu jenis Fiberglass dari Desa Galo Galo yang telah dimodifikasi khusus untuk mengangkut penumpang. Tarif yang dipatok sebesar 20.000 rupiah per orang, namun dipungut secara longgar. Setiap orang yang hendak menumpang biasanya menunggu instruksi dari majikan perahu seperti halnya ketika akan ke Desa Koloray.

Satu jam lebih lamanya waktu tempuh yang dibutuhkan untuk tiba di Pulau Galo-Galo. Tidak ada desain khusus untuk tempat duduk. Hanya bagian belakang untuk juru kemudi. Daya tampungnya sekira 15 orang. Jika muatan maksimal, maka para penumpang akan saling mengambil posisi mencari kenyamanan masing-masing.

Biasanya perahu akan lepas sandar menjelang siang hari, sehingga selama perjalanan orang-orang cenderung terserang kantuk. Ada yang tidur berdesakan dengan barang bawaan. Ada yang berbaring disamping penutup mesin. Hingga ada pula yang tidur di atas anjungan dalam posisi duduk.

Dari semua itu menjadi penting untuk ditegaskan kembali bahwa Indonesia adalah Negara Maritim. Bukan sekedar bunyi dalam seminar-seminar yang digelar Angkatan Laut. Dan Maluku Utara adalah Negeri Kepulauan bukan hanya sekedar pameran dalam publikasi pariwisata Pemerintah Daerah.

Di Maluku Utara terdapat 805 pulau. Namun belum semuanya terdata. Oleh karena itu sulitnya akses transportasi laut lintas pulau-pulau kecil di “Kepulauan Rempah-Rempah” saat ini adalah cermin dari model pembangunan yang ahistoris. Selain fasilitas yang tak memadai juga jasa angkutnya cenderung mahal.

Sehingga, kiranya idiom “nenek moyangku seorang pelaut” perlu untuk diurai kembali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar