SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Jumat, 03 Januari 2014

Ibu Rosita di Tepi Jalan




Terik panas matahari membuat perih kulit hari itu, diseberang jalan ada tebing, mobil truk dan excavator terdiam di atas tebing. Di bagian lain jalan ada hutan-hutan bakau yang luas, namun kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Seorang perempuan tua terlihat di tepi jalan, duduk ber-alaskan tumitnya sendiri sedang memecahkan batu, Perempuan tua itu serius sekali menekuni pekerjaanya. Ada tenda kecil “dadakan” milik perempuan tua itu, tempat dia berteduh dari sengatan matahari di siang panas dan berdebu.

Di dalam tenda ada rantang makanan yang sudah kosong, ada sedikit sisa makanan terlihat. Di sebelah rantang, ada botol plastik yang sudah kusam, berisi air minum.

“Ibu, sudah banyak batu terkumpul ya,?”. Tanya saya kepada perempuan tua itu. “Ohh, sudah bayak”. Balas perempuan tua itu, pendek dan tegas, tangannya terus mengengam pemukul naik turun menempa batu di hadapannya.

Perempuan itu adalah Ibu Rosita salah satu dari puluhan perempuan desa Wailukum yang bekerja sebagai pemecah batu. Perempuan dan Ibu-ibu pemecah batu ini, bisa kita lihat di tepi jalan desa Wailukum, saat perjalanan ke Maba, sentral aktifitas Pemerintahan Kabupetan Halmahera Timur, Maluku Utara.

Kabupaten Halmahera Timur merupakan Kabupaten yang memiliki kandungan sumber daya alam yang melimpah, berupa kandungan mineral logam nikel. hingga kini dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam tahun 2010. Jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berjumlah 15 IUP, dengan total luasan 54.328, Hektar. Sementara luasan kawasan daratan Kabupaten Halmahera Timur hanya 605.619 Hekrtar.

Ibu Rosita tidak sendiri bekerja memecahkan batu, namun dibantu oleh salah satu anak perempuannya. Umur ibu Rosita kira-kira 50-an tahun, kulit tangganya terlihat sudah kendur, namun masih kuat mengengam palu menempah batu selama 9-10 jam sahari. Pekerjaan memcahkan batu oleh ibu-ibu dan perempuan di desa Wailukum dilakoni sejak tahun 2002 hingga hari ini. Keuntungan yang diperoleh dari jajakan batu ini tergantung dari para pembeli, rata-rata batu yang dibeli untuk kebutuhan bahan konstruksi bangunan.

“batu-batu ini jual ret, satu ret itu Rp. 450.000. batu-batu ini torang toki kacil-kacil sampai dapa 260 karung. Itu kerja selama 5-6 hari”. Jawab Ibu Rosita saat saya menanyakan keuntungan dan cara kerja yang dilakoni hampir sebagian perempuan dan ibu-ibu di desa Wailukum.

Kebun yang sudah digusur dan laut yang tidak lagi ada ikan adalah alasan kenapa sampai Ibu Rosita dan beberapa Perempuan dan Ibu-Ibu di desa Wailukum bekerja sebagai pemecah batu. Sebelumnya Ibu Rosita punya perkebunan kelapa yang berada di belakang desa, namun karena kebutuhan jalan untuk perusahaan tambang dan infrastruktur pendukung aktifitas pemerintahan di Maba, ibu Rosita melepaskannya. Asumsi Ibu Rosita melepaskan tanahnya, hanya semata-semata untuk mendukung jalannya “otonomisasi”.

“bakabong pemalas abis dorang gusur samua torang punya kelapa, kelapa babua dorang gusur. Gusur itu untuk jalan tambang dan jalan kabupaten”. Ungkap Ibu Rosita dengan nada menekan dan sedikit marah.

Tanah untuk berkebun dikawasan padat investasi pertambangan, sudah barang tentu secara berlahan-lahan mulai hilang dikuasai oleh perusahaan tambang. Di desa Buli sentral aktifitas Pemerintahan Kecamatan Maba, saya menemui seorang tua yang cukup dikenal di desa Buli, bahkan desa tetangga lainnya, (Geltoli, Sailal, Buli Asal, hingga Pekaulang). Tubuhnya pendek, kulitnya hitam, menggunakan kacamata, malam itu cukup dingin di Buli, orang tua itu mengunakan jaket putih dan topi merah yang melekat dikepalanya. Banyak yang kami diskusikan malam itu.

“Tanah di Buli ini sudah habis, banyak orang jual ke Antam untuk tambang, uang yang didapat dari jual tanah itu adalah saat-saat hari bintang bagi orang Buli”. Kisah orang tua itu kepada saya, ceritanya begitu bersemangat, dengan nada bicara agak tinggi.

Hilangnya tanah dan uang pembebasan lahan merupakan cerita yang mudah diperoleh di desa-desa Halmahera Timur, di Buli Asal perkebunan kelapa milik warga sudah tidak lagi diproduksi, bahkan tanah untuk mengarap sudah mulai hilang. Saat dibaginya uang pembebasan lahan banyak orang-orang di desa Buli Asal yang memiliki banyak uang, hingga bisa membeli mobil untuk digunakan sebagai mobil taksi perjalanan Buli-Soffi, ada juga uang yang diperoleh hingga ratusan bahkan milyaran rupiah, namun tidak mampu menyekolahkan anak mereka, uangnya habis dihamburkan hingga ke Ternate-Tobelo, bahkan Manado.

“Pembebasan lahan itu bisa sampai milyar, ada satu orang di desa ini dia peroleh hingga 1 milyar lebih. Pada tahun 2010, tahun 2008 itu rata-rata 500 juta hingga 400 juta. 2002, 2004, 2008, 2010, itu tahun-tahun pembebasan lahan di desa buli asal empat tahapan. Orang yang menerima biaya pembebasan ada yang buat beli mobil dan dijadikan mobil rental, namun ada juga yang uangnya habis dengan hura-hura hingga membiayayai anak sekolah pun tak bisa”. Cerita seorang tokoh pemuda kepada saya di teras rumahnya, desa Buli Asal.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sajogyo Institute tahun 2012, mudahnya keterlepasan penguasaan dan pengelolahan tanah oleh masyarakat di kawasan Halmahera Timur terhadap perusahaan tambang dikarenakan, massifnya mekanisme tuturan yang dimainkan ditingkat komunitas, tentang kemajuan dan pembangunan, atas adanya investasi tambang. Uang dari hasil penjualan tanah adalah jawaban dari kemajuan itu, kerena tambang orang Buli bawa uang dengan “Saloi-saloinya”, tangap seorang Buli yang saya temui, saat memintai padanganya atas tambang di Buli.

Mekanisme ekonomi uang begitu kuat bermain dikomunitas masyarakat yang berada di kawasan- pertambangan. Cerita ketersediaan layanan alam telah berganti gunung-gunung yang botak, padangan ini mudah anda peroleh saat anda berada dan duduk di pesisir teluk Buli, atau saat anda lending di Bandara Buli yang berada di Desa Pekaulang.

“Tahun 1993-1998, teluk buli diramaikan para nelayan bagan ikan “ngafi” atau ikan teri, malam hari di lautan teluk Buli seakan sebuah kota yang penuh dengan gemerlap-gemerlip lampu”. Tutur seorang Guru yang juga anak kampung di desa Wailukum, menceritakan kepada saya romantisme berlimpahnya sumber daya ikan teri yang menjadi mata pencaharian faforit orang-orang yang mendiami sejumlah desa di teluk Buli.

Raut wajahnya tiba-tiba berubah sinis, saat dia menceritakan kelanjutan tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 2000 dimana ikan teri dikawasan teluk buli tidak lagi didapati para nelayan, dan tiba-tiba saja bagan ikan teri milik nelayan sudah tidak lagi terlihat. Di tahun yang sama pemerintah Indonesia lewat Direktur Jenderal Pertambanga Umum mengeluarkan sebuah surat ber-nomor, 490.K/24.01/DJP/2000 yang memberikan luasan lahan untuk eksploitasi tambang nikel seluas 39.040 Hektar kepada PT. Antam. Di kawasan Tanjung Buli, Bukit Maronopo, dan Pulau Gee.

Kini kondisi tanjung, bukit dan pulau tempat berjalannya eksploitasi tambang sangat memprihatinkan, kesan hijau pada suatu pulau, bukit atau tanjung di wilayah Halmahera yang bisanya terlihat, sekarang diketiga lokasi tersebut hanyalah balutan tanah berwarna coklat, ditambah tumpukan orel yang dibungkusi tarpal berwana orange, dan mondar-mandirnya Truck yang tinggin rodanya bisa mencapai 2 meter, plus dilengkapi aparat Brimob besenjata lengkap yang berja-jaga di post-post pintu masuk.

“Saya baru dari haltim, ada pulau Gee hancur memang”. Ungkap Saiful Ruray Anggota DPRD Propinsi Maluku Utara, yang baru saja pulang dari Buli Halmahera Timur, yang melihat dengan mata telanjang kehancuran pulau Gee akibat eksploitasi tambang di teluk Buli. Pada satu sesi diskusi bertempat di ruang tamu kantor Walhi Maluku Utara, Kalumata.

Bapak Rudi (nama samaran), umurnya mungkin sudah tiga puluhan tahun, saya menemuinya di desa Buli Asal saat itu sudah sore hari, para pemuda-pemudi asik bermain bola voli di lapangan yang sebelahnya ada sungai, banyak anak-anak yang mandi disungai itu.

“Laut di teluk buli so tarada ikan, pernah ada nelayan di desa ini buang jaring di pesisir tanjung Buli, dan anehnya tidak dapat ikan, yang dorang dapa lumpur merah tatempel di jaring ikan, bahkan “lot” (pemberat kail) yang kasi tengelam di laut ada lumpur merah yang tatempel”. Cerca Bapak Rudi, yang mencurigai kedatangan lumpur-lumpur merah itu dari aktifitas pemuatan orel di tanjung Buli oleh perusahaan tambang.

Apakah sektor ekonomi keruk pertambangan ini benar-benar memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, terutama orang-orang di pulau Halmahera ?. Selama ini sektor keruk ini begitu mengidola hampir semua daerah di Propinsi Maluku Utara, bahkan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota, berlomba-lomba mendatangkan orang-orang “berduit” untuk menanamkan investasi tambang di daerahnya. Namun hingga kini kata kesejahteraan dan perbaikan ekonomi jarang sekali kita temui di lokasi pertambangan, yang ada hanyalah, hilangnya lahan perkebunan, alam yang tidak lagi menyediakan kebutuhan kominitas masyarakat tempatan, hingga Konflik.

“Saya karja kasi pica batu dan jual batu ini, untuk kebutuhan makan saja, kabong so trada jadi, mau makan apa.?, Cuma ini saja yang saya bisa”. Ungkap Ibu Rosita, Pasrah.

2 komentar:

  1. apakah sebegitu parahnya efek pertambangan di buli?
    tapi akses air bersih masih ada kan?

    BalasHapus
  2. apakah sebegitu parahnya efek pertambangan di buli?
    tapi akses air bersih masih ada kan?

    BalasHapus