SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Senin, 29 Agustus 2011

Menampuk EPA Jepang-Indonesia di Kepala Nelayan Morowali

oleh : Lian Gogali


“Indonesia harus menjamin pasokan gas alam untuk Jepang, selain itu harus segera menyelesaikan Undang-Undang Penanaman Modal” pernyataan ini disampaikan oleh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, November 2006 menanggapi Presiden Yudhoyono yang mengatakan penting untuk mempercepat penyelesaian perundingan Economic Partnership Agreement (EPA) Indonesia – Jepang. Setahun kemudian keduanya menandatangani surat persetujuan EPA. 6 diantara 7 proyek tersebut adalah eksploitasi energi di Indonesia. Setelah efektif diberlakukan Juli 2008, hubungan Indonesia dan Jepang tidak lepas dari politik energi dan sumber daya alam.

Untuk memenuhi pasokan energi yang dibutuhkan Jepang atau menjalankan EPA, di pantai timur Sulawesi Tengah, PT Pertamina Medco Tomori Sulawesi yang merupakan joint venture antara pemerintah dan Medco Energy melakukan eksploitasi minyak dan gas Blok Donggi-Senoro.

Perwujudan EPA ini kemudian mengubah ribuan kehidupan para nelayan dan petani di Morowali. Ekosistem laut hilang dan rusak, para nelayan kehilangan sumber mata pencaharian, merugi hingga milyaran rupiah pertahun;ratusan hektar tanah petani digusur paksa. Puncaknya tanggal 22 Agustus 2011, 2 nelayan tewas, 5 orang kritis terkena tembakan, 17 orang nelayan ditangkap dikenai tuduhan melakukan pengrusakan bersama-sama terhadap fasilitas perusahaan dengan ancaman kurungan lima tahun lebih.

Ironisnya, menanggapi peristiwa penembakan ini Pemerintah Indonesia melihatnya hanya sebagai gangguan kecil karena tidak lancarnya program Community Development sebuah program yang sering disebut sebagai tanggungjawab sosial perusahaan. Sebaliknya bagi para nelayan, aksi protes ini merupakan akumulasi ekspresi terhadap ketidakadilan pengelolaan sumber daya alam.

Rasa ketidakadilan ini dirasakan jauh sebelum aksi protes di Tiaka.”Sekarang.kami tidak bisa bertahan hidup hanya dengan memancing.Ikan-ikan sudah lari,terumbu karang banyak yang mati, mau melaut lebih jauh kami ini nelayan tradisional,perahu kami tidak sanggup,pengangguran bertambah banyak.Mau melaut susah, mau bertani tidak ada lahan” Kata Andri, seorang korban yang ikut tertembak dalam aksi “Kami meninggalkan tradisi nenek moyang kami yang hidupnya bergantung di perairan Tiaka. Banyak yang beralih menjadi buruh sawit”.

Oleh karena itu peristiwa penembakan dan penangkapan nelayan Kolo bawah seharusnya dilihat sebagai bentuk lanjut dari tanggung jawab negara atas penghancuran corak produksi masyarakat, jauh sebelum peristiwa aksi massa di Tiaka.

Pertama, negara bertanggungjawab dalam penghancuran sistem ekonomi nelayan dan petani di pantai Timur Sulawesi Tengah melalui kebijakannya. Antara lain menerbitkan Kontrak Karya, menggusur,memindahkan,merampas lahan produksinya (tanah,laut), memaksa dan mengintimidasi masyarakat, hingga mengerahkan pasukan TNI/Polri untuk meminimalisir perlawanan masyarakat termasuk jika harus membunuh.Kebijakan ini adalah bentuk peranan negara menciptakan ruang bagi perluasan sistem ekonomi kapital (yang dipastikan mulus setelah menghancurkan corak produksi rakyat). Penghancuran inilah yang diprotes oleh gelombang aksi massa di Tiaka.

Kedua, penghancuran corak produksi masyarakat berlangsung bersamaan dengan pengrusakan lingkungan hidup yang luar biasa. Terumbu karang hidup di Tiaka yang menjadi lahan produksi nelayan bukan saja hilang setelah ditimbun menjadi pulau buatan, namun juga merusak ekosistem laut. Pulau buatan yang menjadi pusat pengeboran minyak bumi ini dipastikan merusak ekosistem terumbu karang seluas 44 hektar (WALHI,2002).Tentu saja membatasi akses nelayan dan mengakibatkan ribuan nelayan kehilangan mata pencaharian.

Ketiga, kebijakan yang menghancurkan corak produksi masyarakat ini tidak diikuti dengan agenda pembangunan domestik jangka pendek, yaitu mengurangi pengangguran dan menstimulus pertumbuhan ekonomi. Rakyat di Sulawesi Tengah diperas kekayaan alam-nya untuk pembangunan infrastruktur yang memajukan kegiatan produksi kapitalis (teknologi tinggi dan padat modal) lalu dibiarkan,dipinggirkan bahkan dibunuh jika akan memperjuangkannya. Dengan kata lain, setelah menjadi penyedia bahan baku untuk produksi kapitalis di tempat lain, hidup rakyat di Morowali (dalam konteks ini) dibiarkan seperti tikus yang mati di lumbung padi. Dalam hal inilah pernyataan bahwa aksi protes masyarakat dipicu oleh ketidakpuasan kebijakan Community Development perusahaan terasa sangat sempit. Sebaliknya kesadaran masyarakat terhadap hal ini yang mendorong mereka melakukan kritik dengan cara yang mereka pahami.

Keempat, tidak hanya soal kebijakan,kepemilikan Blok Donggi-Senoro dikuasai oleh segelintir kelompok. Pemilik saham terbesar adalah Mitsubishi Corp dengan 51% hak dan keuntungan, sementara Pertamina memegang 29% dan Medco Energy 20%. Bukan hanya bahwa negara lain merupakan pemegang saham terbesar, tapi jelas bahwa rakyat, dimana sumber daya alam tersebut dikelola tidak mendapatkan keuntungan apapun. Dalam hal inilah tindakan aparat keamanan yang menembak massa aksi membabi buta menunjukkan ketidakberpihakan negara pada rakyat tapi pada pemodal. 

Oleh karena itu protes dan kritik terhadap penembakan,penangkapan warga perairanTiaka adalah gerakan penolakan terhadap upaya penghancuran model ekonomi masyarakat (pra-kapitalis), menentang segala bentuk kebijakan yang memusnahkan kearifan lokal masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk penyingkiran masyarakat adat; gerakan yang menentang dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan perusahaan; perjuangan mengembalikan pengelolaan sumber daya alam pada rakyat atau membongkar penguasaan sumber daya alam di tangan sekelompok perusahaan. Sebuah gerakan yang sebenarnya telah dimulai oleh warga Tiaka dengan cara yang mereka pahami.

Jika tidak pola yang sama dipastikan akan terjadi dibagian lain di wilayah negeri yang kaya sumber daya alam ini. Dengan kata lain, perjanjian politik ekonomi untuk kepentingan kapital dan segelintir kelompok diletakkan di kepala para nelayan,petani, meski harus mati.


@LianGogali untuk Forum Solidaritas Anti Kekerasan - Tiaka

(juga dipublish di www.engagemedia.org ->english version dan www.perempuanposo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar