SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS

SAY NO TO MINING IN NORTH MOLUCAS
WALHI MALUT Aksi Teatrikal Hari Anti Tambang

Kamis, 30 Juni 2011

Intelektual Mekanik

Radar Halmahera, Kamis 30 juni 2011
Oleh: Among Prakoso
Divisi Pendidikan WALHI MALUT



Pagi itu laju kendaraan di bundaran depan kampus gajah terlihat lebih lambat dari biasanya, di sebelah barat sebuah sepanduk terentang, di atas pemukaannya yang putih terlihat kalimat “Soegeng Rawuh Mr.Boed” ditulis dengan cat semprot merah. Budiono ke kampus gajah.
Beberapa belas pengawal berseragam coklat duduk-duduk di balik bayang-bayang papan iklan. Bergerombol dengan kawanannya mereka mengawasi aktifitas di tengah bundaran. Ada demo. Sebuah mobil meriam air melintas, bercat hitam.Tak lama berselang warna hitam kembali menyeruak kala satu unit SUV berpenggerak 4 roda melintas. Lebih ke dalam, di ujung boulevard, pengawal dan kendaraan tempur antidemonstran menumpuk, lebih banyak dari yang ada di bundaran.

Budiono datang ke kampus gajah. Di bundaran, di bawah pengawasan mata pengawal Budiono, dua kelompok mahasiswa berdemo, masing masing mengambil tempat di sisi utara dan selatan jalan. Dua kelompok kecil ini secara bergantian melakukan orasi, menyangsang bendera, membawa poster dan spanduk. Berseberangan tempat namun bulat dalam teriakan: KEGAGALAN PEMERINTAH.

Budaran kampus gajah macet, laju kendaraan terganggu lalu-lalang wartawan. Beberapa mahasiswa melintas keluar-masuk mulut boulevard, sekejap melirik dari atas kendaraan roda duanya, melambatkan laju namun tidak benar-benar berhenti. Mahasiswa yang di kejauhan, mereka berjas almamater, mengangkat lehernya dongak kepala: melongo.

Tulisan ini, yang berpanjang-panjang di pemulaan, tidak hendak ribut soal Budiono yang konon kata berita di internet, membawa 800 orang pengawal bersamanya ke kampus gajah. Saya juga tidak hendak mempersoalkan pengawal Mr.Boed yang berakting (sok) seram. Tidak.

Saya maklum dengan tingkah berlebihan tuan dan gerombol pengawalnya. Sang tuan ketakutan, takut diserang warga-negara yang marah, hingga merasa perlu bawa-bawa pengawal bersenjata, jangan lupa pentungan juga senjata, dan kendaraan tempur anti amukmassa. Para pengawal sendiri memang dibayar untuk melindungi tuannya, jadi wajar kan mereka dengan disiplin menjaga sang tuan? Kalau sampai para pengawal itu berakting gahar kita juga jangan buru-buru mengumpat, itu hanya bagian dari profesionalisme kerja mereka.

Di tulisan ini saya juga tidak bermaksud membicarakan demo yang semakin sepi peminat. Saya salut dengan mereka, jenis mahasiswa yang hampir punah, yang terus bertahan ditengah pesta perayaan kebebasan hasrat. Saya sendiri belum pernah berdemo, dan saya tidak cukup berani untuk muncul di ruang publik dengan tuntutan lugas seperti mereka. Meminjam istilah seorang kawan, saya ini ibarat intelektual kafe –tentunya cap intelektual terlalu jauh dari realitas saya yang bukan sarjana. “Intelektual Kafe adalah” kata kawan saya itu “kaum cerdik-cendikia yang melakukan protes, fasih mengucap teori-teori sosial, mengkritik kesalahan sistem, menulis tentang ketidakadilan sosial tapi tidak melakukan kerja nyata di masyarakat. Mereka ribut bersuara dari dalam kafe namun tidak pernah turun ke jalan”

Hmm.. oke, saya tidak intelektual tapi saya mirip dengan mereka, sering mengkonsumsi leisure time di kafe daripada menyapa ibu/bapak pedagang kakilima atau kuli keceng penggarap tanah priyayi. Karena itu, setelah bertukar wicara dengan kawan soal intelektual kafe, saya jadi sedikit bisa memahami bentuk perlawanan dengan demonstrasi. Seperti kata Nabi saya “Orang yang diam ketika menyaksikan keburukan adalah setan bisu”, demonstrasi mahasiswa yang saya saksikan di bunderan kampus gajah dalam dimensi religious bisa dikatakan sebagai upaya mereka untuk menjadi manusia.

Tulisan ini, dengan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya, ingin memantulkan kembali suara-suara kritis dari mereka yang lama mengamati dunia penddidikan. Tulisan ini mencoba memantulkan gaung wacana privatisasi pendidikan dengan menempatkan para peserta didik sebagai gema utama.

Privatisasi (maha)Siswa
Dalam tayangan sentilan-sentilun di MetroTV si tamu, entah siapa namanya, berkata pada mahasiswa yang hadir di studio “Sekarang ini tidak ada sekolah negeri. Jangan kalian kira negara membiayai pendidikan, yang membiayai pendidikan itu orang tua kalian”. Satu konklusi yang menjelaskan dengan sederhana makna sebenarnya dari lembaga negeri atau lembaga negara, yaitu (kira-kira) lembaga yang dalam pengelolaan dan pembiayaannya dibawah aturan dan tanggung jawab negara.

Apa yang ada sekarang ini adalah pendidikan swasta (privat), sebuah sistem pendidikan yang diserahkan kepada kelompok pengelola –saya lebih suka menyebut mereka pebisnis-ilmu-pengetahuan– yang menjalankan institusi pendidikan dengan logika pasar-profit. Masyarakat adalah pasar potensial yang jika mau, dengan rayuan ataupun paksaan, dibuat membeli barang dagangan (ilmu-pengetahuan) maka institusi pendidikan itu bisa memperoleh profit (keuntungan). Praktek bisnis seperti ini dalam term canggihnya jamak disebut “privatisasi pendidikan”.
Ah itu lagu lama, ribut-ribut soal privatisasi pendidikan sudah berlangsung lama.

Yang mengkhawatirkan adalah privatisasi pendidikan tidak hanya membuat mahal biaya sekolah tapi juga mempengaruhi motivasi belajar siswanya. Ingin lulus cepat dengan nilai tinggi. Dulu, kakak-kakak saya rata-rata menempuh masa studi paling sedikit delapan tahun, bahkan ada yang sepuluh tahun. Mereka merasa tidak harus cepat-cepat lulus, dan orang tua tidak seberapa pusing jika anaknya betah menjalani kehidupan kampus sebab SPP yang harus dibayarkan di masa itu relatif masih terjangkau. Sekarang, untuk pendidikan tingkat sarjana misalnya,jika ada mahasiswa yang menempuh tahun kelima dalam masa studinya sudah bisa ditebak “keterlambatannya” memicu kekhawatiran orang tua. Khawatir sebab masih harus membiayai kuliah yang mahal.

Kriteria mahasiswa berprestasi juga menjadi sangat sempit. Mahasiswa berprestasi adalah mereka-mereka yang menempuh kuliah singkat, atau sesuai jadwalnya, dengan nilai yang bagus –untuk tingkat kampus misalnya IPK mencapai 4.00. Mahasiswa hanya diukur dari kecerdasan akademis, untuk aspek sosial maupun –satu status yang masih terus menjadi harapan– tugasnya sebagai penggerak perubahan sudah terlempar jauh dari parameter untuk menilai seorang mahasiwa berprestasi atau tidak.

Jika ditelisik, agenda privatisasi pendidikan yang kini berlangsung dengan sengaja, meski sembunyi-sembunyi, menghujam hingga ke pola pikir peserta didik. Sekarang ini pragmatism menjadi moral intelektual peserta didik (mahasiswa). Kuliah cepat, nilai bagus, lulus langsung dapat kerja menjadi kelaziman yang tidak dipertanyakan. Eko Prasetyo[1] menulis:
Pendidikan telah disulap perannya, dari upaya untuk mendorong tradisi intelektual menjadi mesin pencipta tenaga kerja. Itu sebabnya peserta didik kemudian dipandang sebagai objek yang bisa dikenai berbagai aturandan diarahkan menurut keinginan pasar kerja.

Dari sini terlihat dua wajah privatisasi pendidikan. Pertama membuat proses belajar-mengajar menjadi komoditas yang menguntungkan (komodifikasi ilmu-pengetahuan), yang kedua meluluskan kaum terdidik dan terampil sebagai komoditas di pasar tenaga kerja. Betapa canggih dan rapi sistem pendidikan (kapitalistik) sekarang. Melalui privatisasi pendidikan bisa membiayai dirinya sendiri (bahkan mendapatkan keuntungan), dan lulusan yang dihasilkan adalah komoditi tenaga kerja yang –seturut hukum permintaan-penawaran– pintar, melimpah dan murah.

Setelah lulus dari kampus problem para mantan-mahasiswa tidak serta-merta selesai. Idealism yang menggebu-gebu saat masih menyandang status sebagai MAHAsiswa perlahan redup atau mati sama-sekali. Lama hidup diatas teori-teori canggih yang tersandera dalam ruang kelas dan lembar buku membuat mahasiswa gagap merespon realitas, isi kepala sebagian besar dari mereka adalah mencari pekerjaan yang bergaji layak.

Untuk mantan mahasiswa yang cerdik, yang semasa berkuliah termasuk golongan aktivis, sindrom gagap-realitas yang mereka derita disamarkan dengan bekerja di LSM atau NGO, tidak sedikit juga yang bahkan mendirikan LSM/NGO. Contoh nyatanya ya saya ini.

Sepintas bekerja di NGO, LSM atau lembaga pendampingan masyarakat menjadi jalan pengabdian intelektual, namun ketika lembaga tempat bernaung tidak memberi gaji yang sesuai dengan keinginan maka timbul gerutu di antara para pekerja-sosial-intelek ini. Jenis lain, yaitu mahasiswa cerdik yang mendirikan LSM/NGO, kerja-kerja yang dilakukan lembaga mereka disesuaikan dengan proposal dana atau kepentingan donor. Persoalan apakah kerja yang dilakukan itu benar-benar merupakan kebutuhan utama komunitas dampingannya tidak lagi dirasa penting. Kerja yang dilakukan tereduksi menjadi kerja karitatif, belas kasih, amal, atau charity. Kaum terdidik-intelek ikut-ikutan menjadi juragan kaya; mengembangkan hasrat filantropis.

Watak lembaga pendidikan pasca privatisasi juga ikut diswastakan, menjadi penghamba pada penguasa. Di sini makna “penguasa” saya lekatkan pada penguasa kekerasan legal (negara beserta aparatusnya) dan penguasa modal. Pada bisnis ekstraksi perut bumi misalnya, banyak universitas yang terang-terangan mendukung usaha pertambangan dengan kapasitas mereka sebagai lembaga ilmiah, mulai dari kebohongan hasis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sampai praktek tipu-daya-persuatif kepada kelompok komunitas di wilayah pertambangan agar mau menerima masuknya perusahaan tambang.

Kedatangan Mr.Boed ke kampus gajah secara simbolik juga menunjukkan betapa lembaga pendidikan, kampus gajah dalam hal ini, sudah diswastanisasi penuh. Agenda Mr.Boed hari itu adalah untuk melepas mahasiswa yang akan menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pertanyaan saya, apa kapasitas Mr.Boed sampai-sampai kampus gajah yang tua merasa perlu meminta si mister untuk melepas mahasiswanya? Apakah karena Mr.Boed pernah menjadi dosen di salahsatu fakultas om gajah, atau karena Mr.Boed adalah bagaian dari penguasa? Saya pribadi cenderung memilih jawaban kedua, menurut saya alasan “pernah menjadi dosen” terlalu mengada-ada sebab untuk kampus setua om gajah ada banyak guru besar, professor, doktor, atau apapun gelarnya yang jauh lebih pantas melepaskan bibit-bibit masa depan bangsa, ini malah seorang penguasa yang melakukannya. Di mana kemerdekaan pendidikan?

Semasa masih sekolah dulu guru Bahasa Indonesia saya pernah berkata “Ilmu jangan sampai duduk di menara gading”. Kenyataan hari ini lebih menyedihkan; ilmu, kampus, sekolah, siswa, mahasiswa, guru, dosen, gedung, kursi, semua instrumen fisik dan non-fisik dari pendidikan, dibungkus menjadi satu lalu dilacurkan ke masyarakat lewat baliho-baliho, spanduk, iklan tv, iklan cetak dll; Besaran “uang sumbangan” menjadi faktor penentu seorang anak bisa masuk sekolah atau tidak; Mahasiswa berdemo ditekan melalui instrument akademis; Kegiatan kemahasiswaan, diskusi, teater dan penerbitan menjadi objek intai satuan telik sandi yang berkomplot dengan pihak rektorat.

Pembantaian Mahasiswa
Pada masa kekuasaan penguasa dahulu kerap terdengan berita tentang hilangnya mahasiswa. Hilang, tak ada berita atau kabar pamit. Tak ada yang menyatakan diri bertanggung jawab. Tingal keluarga yang bingung mencari keterangan sanak yang hilang. Hari ini penguasa tidak perlu berlumur darah untuk menjaga kepentingannya, penguasa sekarang lebih cerdas. Represi yang dilakukan bukan lagi represi fisik melainkan represi mental dan pengetahuan.

Sekolah dibuat mahal, maka masa belajar menjadi singkat. Sistem semester, SKS, raport, UAN dan UAS diterapkan, maka masa studi bisa ditentukan. Kegiatan mahasiswa lebih rekreatif, maka kelahiran mahasiswa kritis bisa diaborsi. Mahasiswa demo tidak lagi ditembaki, tapi di acuhkan, ketika ditanya wartawan cukup berkata “Ini kan negara domokrasi, setiap orang berhak menyampaikan pendapat.” Perkara pendapat mereka didengan atau tidak itu lain soal.

Mahasiswa, generasi muda, penggerak perubahan, dibantai. Tidak dengan peluru tajam namun
dengan ekspansi budaya-suka-ria. Benda-benda berteknologi tinggi masuk, produk fashion, gaya hidup riang-gembira, produk otomotif hingga permainan ketangkasan di dunia maya. Generasi pengerak yang semestinya radikal dibius dengan kesenangan, menjadi konsumen abadi dari produk seni hingga sex, hidup mapan, sesekali berpesiar ke tempat-tempat eksotis dalam dan luar negeri. Kelompok intelektual kini lebih suka menulis tentang film, tempat wisata dan perjalanan keliling negeri, sementara mereka yang miskin, tidak mampu bersekolah, tidak memiliki tanah, mereka yang tenggelamkan ke dalam angka-angka statistika, tersingkir dari perhatian. Atau, meski dimunculkan, hanya sebagai kisah duka manusia, tidak ada analisis yang menyentuh relasi struktur kekuasaan dan keadilan akses sumberdaya penyebab dari kemiskinan.

Semakin sedikit intelektual-organik yang belajar dan berjuang bersama-sama masyarakat, berganti intelektual-mekanik yang digerakkan pasar: pasar pengetahuan dan pasar tenagakerja. Kaum terdidik yang menjadi konsumen budaya pop, hidup suka-ria. Menjalani hidup yang itu-itu saja: Sekolah – lulus – lalu bekerja. Berkarir sebagai pekerja NGO, menjual kemiskinan saudaranya untuk kucuran dana negara-negara utara. Semakin banyak intelektual kafe, golongan cerdik-cendikia yang merasa sudah melakukan perlawanan hanya dengan mengadakan diskusi atau melontar kritik dari kafe-kafe mahal terwaralaba dan menulis di media-massa borjuis. Dan yang paling menyedihkan, kehadiran kelompok intelektual parasit, kelompok berilmu yang ikut ke dalam komplotan penguasa, memberikan pembenaran intelektual untuk pemiskinan sistematis.

Teringat lagi buku “Sekolah Itu Candu” tulisan Roem Topatimasang. Sekarang ini sekolah tidak saja mendidik untuk tahu dan terampil tapi juga mendidik untuk bebal dan masa bodoh. Hebatnya, makin mahal biaya pendidikan ternyata tidak mengurangi pemadat candu merek “sekolah”. Orang tua masih memasrahkan masa depan anaknya pada lembaga bisnis pengetahuan, dan si anak terus di jerat pada hukum balas-budi pada orang tuanya yang berusaha dibayar dengan nilai bagus dan pekerjaan “keren”.

Kawan, kapan terakhir kali kau melihat ijasahmu, tadi pagi, minggu kemarin, atau tahun lalu? Apakah ijasahmu kau pigura dengan cantik atau terlindungi oleh lapisan plastik kaku? Atau jangan-jangan kamu sendiri lupa dimana ijasahmu tersimpan, “lupa” yang lahir karena muak pada wajah pendidikan di negeri ini.


*Untuk teman-teman Kebonan, kakak-kakak di Banjarparakan, kawan-kawan Marto Golek, bocah TerangSore dan tiga Ilalang di padang Notog, dan kesan perjumpaan yang dalam dengan eksponen Walhi Malut.

[1] Eko Prasetyo, Assalamu’alaikum: Islam Itu Agama Perlawanan, Resist Book. 2006

Negara pakai uang rakyat untuk membayar bencana yang diakibatkan aktivitas perusahaan milik kelompok Bakrie.

Walhi akan segera mengajukan judicial review UU No 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2011 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Undang-undang ini dinilai Walhi melegitimasi penggunaan uang negara untuk membela kepentingan korporasi.
 
“Akhir pekan ini kami akan mematangkan rencana judicial review UU APBN 2011,” tukas Pengkampanye Tambang dan Energi Walhi, Pius Ginting di Jakarta, Selasa (28/6).
 
Dia menguraikan, undang-undang ini menunjukkan bagaimana pemerintah telah bersikap tidak adil terhadap penduduk miskin. Pius menyebutkan, penduduk miskin mencapai 117 orang, karena penghasilan mereka per hari kurang dari Rp18.000.
 
Tapi, pemerintah bersikap tidak bijak dengan memanfaatkan uang rakyat yang dipungut dari pajak. Hal itu ditunjukkan ketentuan Pasal 18 dalam UU APBN 2011.
 
Pasal 18
(1) Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun  Anggaran 2011, dapat digunakan untuk melunasi kekurangan pembayaran pembelian tanah, bantuan kontrak rumah, tunjangan hidup dan biaya evakuasi di luar peta terdampak pada tiga desa (Desa  Besuki, Desa Kedung Cangkring, dan Desa Pejarakan), serta untuk bantuan kontrak rumah, tunjangan hidup, biaya evakuasi dan relokasi pada sembilan rukun tetangga di tiga desa (Desa Siring Barat, Desa Jatirejo, dan Desa Mindi).
 
(2) Kekurangan pembayaran pembelian tanah di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedung Cangkring, dan Desa Pejarakan) disesuaikan dengan tahapan pelunasan yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas.
 
Ketentuan ini dinilai Walhi melegalkan tindakan pemerintah untuk mencuri uang publik. “Yang seharusnya digunakan negara untuk membantu mengurangi kemiskinan,” tutur Pius.
 
Dia lanjutkan, sejatinya negara memiliki tanggung jawab menanggung kehidupan fakir miskin. Ironisnya, dana publik tersebut digunakan untuk menggantikan apa yang seharusnya menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas, perusahaan yang dimiliki oleh salah satu orang terkaya di Indonesia.
 
Ditambahkan Pius, ketentuan APBN ini tidak tepat. Pasalnya, negara hingga saat ini belum melakukan proses hukum terhadap Lapindo Brantas. Pemerintah, lewat Direktur Reserse Kriminal Polda Jawa Timur, malah mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dugaan tindak pidana terkait keluarnya lumpur yang ditengarai akibat aktivitas pengeboran pencarian sumber minyak oleh perusahaan yang terafiliasi dengan kelompok Bakrie ini, pada 5 Agustus 2009.
 
Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lumpur Lapindo disebabkan oleh operasi pengeboran migas.
 
Jadi, lanjut Pius, menggunakan APBN untuk menggantikan tanggung jawab Lapindo, tegasnya merugikan rakyat dan menguntungkan korporasi. “Padahal, Lapindo Brantas telah membuat rakyat sengsara dan lingkungan rusak,” tuturnya.
 
Oleh sebab itu, UU APBN ini tidak adil, apalagi tatkala Indonesia dilanda sejumlah bencana serupa banjir Wasior, tsunami Mentawai. “Para korban bencana, dengan undang-undang ini sama saja diabaikan negara.”  
 
Karenanya, Walhi bakal meminta MK membatalkan bagian dari APBN itu yang mengambil alih tanggung jawab Lapindo Brantas.
 
Dia sampaikan, Walhi begitu prihatin dengan terabaikannya hak-hak korban lumpur Lapindo Brantas. Karenanya, Walhi bersama organisasi masyarakat lain telah menggalang bantuan. “Tapi semua ini akan kurang efektif, sebelum ada keputusan final dari pengadilan pidana atas penyebab lumpur Lapindo Brantas.”
 
Pius sampaikan, pihaknya yakin, terhambatnya putusan bersalah Lapindo karena ada keterlibatan mafia hukum. Mulai dari penyidik, penuntut umum, hingga hakim, menurutnya member kontribusi untuk menguntungkan Lapindo Brantas dan merugikan rakyat miskin


sumber:  http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e0bec28e00ff/walhi-judicial-review-uu-apbn-2011

Akibat Bocor Pipa Tailing NHM, Warga Kena Penyakit Kulit


Monitor kamis, 39 juni 2011

-         BLH Surati Kementerian Desak PT. NHM Siap Sumber Air Bersih

Sofifi, Monitor – Penelitian kualitas air Sungai Tabobo dan tanah disekitar lokasi PT. Nusa Halmahera Mineral’s paling lambat 14 hari akan diumumkan kepada masyarakat.

Penelitian yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, dimulai sejak jumat (24/6) kemarin dengan melakukan pengambilan sampel tanah maupun sampel air sungai untuk diteliti, apakah tercemar limbah perusahaan atau tidak, karena beberapa waktu lalu pipa tailing milik PT. NHM bocor dan mencemari lingkungan sekitarnya.

“Itu kewenangan pusat, kalau dalam penelitian ditemukan pencemaran maka akan diambil tindakan oleh kementrian”, jelas Kepala Badan Lingkungan Hidup Maluku Utara, Naser Thaib.

Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian air sungai dan tanah, tergolong lama karena dalam penelitian di laboratorium tersebut, juga dilakukan analisa unsure logam terdapat pada tanah tersebut.
“Tanah itu dianalisa apakah mengandung logam berat atau tidak, sehingga nantinya kementrian lingkungan hidup akan menindak lanjuti jika terdapat logam berat,” katanya.

Nasir Thaib juga menghimbau kepada PT. NHM untuk segera menyiapkan fasilitas air, untuk masyarakat yang biasa mengkonsumsi air Sungai Tabobo sebagai kebutuhan hidup sehari – harinya. Selain itu juga BLH mendesak Kementrian Lingkungan Hidup untuk menekan NHM.

“Saya himbau ke NHM untuk segera buatkan semacam PDAM untuk masyarakat, NHM punya dan CSR sangat besar, kalau bisa di setiap dusun daerah di lingkar tambang disediakan air,” cetusnya.

Selain didesak untuk segera menyiapkan sumber air alternative bagi masyarakat yang berada di lingkar tambang, PT NHM juga didesak untuk mengambil langkah – langkah terkait dengan beberapa warga yang sudah terjangkit penyakit kulit akibat dari kebocoran pipa tailing milik PT. NHM.

“NHM harus mengambil tindakan untuk segera menurunkan tim medis, sebagaimana menurunkan tim dokter spesialis untuk memeriksa kesehatan masyarakat yang sudah mulai terjangkit, masa NHM tidak bisa membiayai, kasihan masyarakat,” paparnya.

Sebelumnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Maluku Utara juga mendesak PT. NHM dan Pemda setempat untuk segera mencari solusi menyiapkan sumber air aternatif. (ega)

Bupati Didesak Cabut Izin Kelapa Sawit

Radar Halmahera Kamis, 30 juni 2011

Sofifi - izin operasi perkebunan kelapa sawit di Halmahera Timur yang diterbitkan pemerintah terdahulu (Welhelmus Tahalele) dimasalahkan. Bupati Haltin Rudi Irawan didesak untuk mencabut izin tersebut karena dinilai, keberadaan kelapa sawit berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat.

Hal ini disampaikab ketua Gerakan Pemuda Ansor Malut, Salim Thaib kepada Radar Halmahera melalui sambungan telpon kemarin. Dikatakannya, izin pengoperasian kelapa sawit tersebut diberikan oleh pemerintah Haltim masa kepemimpinan Welhwlmus Tahalele. Dalam izin tersebut menurut dia, ribuan hektar hutan akan ditebang.

"Lokasi izin itu berada dibelakang wilayah Gotowasi sampai Bicoli Kecamatan Maba Selatan. Jaraknya diperkirakan tiga kilometer", katanya.

Ditambahkannya, persoalan lain yang menjadi kekhawatiran adalah dekatnya lokasi kelapa sawit dengan perkampungan warga. Dimana, perusahaan kelapa sawit tentunya membutuhkan banyak asupan air yang nanti berdampak pada penyediaan air minum warga sekitar.

"Karena itu kita minta agar bupati yang sekarang untuk meninjau kembali ijin operasional perusahaan investasi kelapa sawit di Kabupaten Halmahera Timur. Karena itu merusak, apalagi jaraknya dengan pemukiman sangat dekat, hanya berapa meter saja. Sementara kelapa sawit itu dia rakus terhadap air", ujarnya.

Pemerintah Daerah menurut dia, jangan semata berpikir untuk mendongkrak pendapatan asli daerah, kemudian memberikan alasan kepada masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup. Pemerintah seharusnya memikirkan efek jangka panjang dari sebuah investasi.

"Setiap investor tetap memikirkan keuntungan besar, tentunya yang akan dirugikan adalah masyarakat. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah keberadaan kelapa sawit akan mematikan petani - petani kopra di Haltim. Seharusnya pemerintah berpikir mengembangkan petani kopra, bukan memberikan izin kepada pengusaha kelapa sawit. Karena itu, kami desak Bupati meninjau bahkan bila perlu mencabut kembali izin tersebut", tandasnya. (amy)